Terbitnya buku Sejarah Teori Antropologi II karya Koentjaraningrat merupakan kelanjutan dari buku Sejarah Teori Antropologi I. Jika pada buku pertama ditujukan untuk memberikan pemahaman terhadap perkembangan teori-teori besar dalam antropologi yang berkembang di dunia maka buku yang kedua ini lebih ditujukan untuk memberikan gambaran kepada pembaca terhadap cakupan-cakupan studi dalam disiplin antropologi. Dalam buku ini Koentjaraningrat membagi bukunya ke dalam enam bab yaitu (1) Antropologi dan penelitian komparatif; (2) konsepsi-konsepsi antropologi psikologi; (3) konsepsi-konsepsi mengenai perubahan dan inovasi; (4) Kebudayaan, folk, komuniti, jaringan kerabat, dan jaringan sosial; (5) cabang-cabang spesialisasi dalam antropologi; (6) antropologi terapan dan antropologi pembangunan. Rangkaian materi yang dipaparkan oleh Koentjaraningrat tentu dapat kit abaca sebagai upayanya sebagai seorang pelopor dalam mengembangkan untuk memberikan dasar melalui bentuk-bentuk kajian antropologi yang sudah berkembang guna melihat persoalan-persoalan yang terkait dengan pembangunan. Tentunya dalam konteks keanekaragaman kebudayaan di Indonesia.
live cycle

Tampilkan postingan dengan label Tentang Tokoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tentang Tokoh. Tampilkan semua postingan
Jumat, 26 Agustus 2011
Riwayat Tokoh dan Jejak-Jejak Karya II
Koentjaraningrat. 2010. Sejarah Teori Antropologi II. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Riwayat Tokoh dan Jejak-Jejak Karya I
Koentjaraningrat. 2009. Sejarah Teori Antropologi I. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Membaca buku Sejarah Teori Antropologi I menjadi penyegaran kembali bagi saya untuk melihat kembali teori-teori besar yang berkembang dalam Antropologi. Buku karya Koentjaraningrat ini ditulis dengan semangat untuk memberikan pemahaman yang memadai bagi ilmuwan sosial di Indonesia yang umumnya lemah dalam hal penguasaan teori ilmu sosial, khususnya antropologi.
Dua bab di bagian awal buku Sejarah Teori Antropologi I ini memaparkan tentang latarbelakang munculnya antropologi pada awal abad ke 19. Tulisan-tulisan tentang catatan para penjelajah dunia (penganjur agama nasrani, pegawai pemerintah jajahan, peneliti ilmu bumi) sejak abad ke 15 yang berisi tentang adat-istiadat bangsa Afrika, Asia, Oseania, dan penduduk asli Amerika ssangat menarik perhatian banyak kalangan karena berkisah tentang hal-hal yang aneh di mata orang eropa. Tulisan-tulisan tersebut memberikan informasi tentang adanya adanya perbedaan fisik dan tatakehidupan manusia khususnya yang berada di luar Eropa.
Membaca buku Sejarah Teori Antropologi I menjadi penyegaran kembali bagi saya untuk melihat kembali teori-teori besar yang berkembang dalam Antropologi. Buku karya Koentjaraningrat ini ditulis dengan semangat untuk memberikan pemahaman yang memadai bagi ilmuwan sosial di Indonesia yang umumnya lemah dalam hal penguasaan teori ilmu sosial, khususnya antropologi.
Dua bab di bagian awal buku Sejarah Teori Antropologi I ini memaparkan tentang latarbelakang munculnya antropologi pada awal abad ke 19. Tulisan-tulisan tentang catatan para penjelajah dunia (penganjur agama nasrani, pegawai pemerintah jajahan, peneliti ilmu bumi) sejak abad ke 15 yang berisi tentang adat-istiadat bangsa Afrika, Asia, Oseania, dan penduduk asli Amerika ssangat menarik perhatian banyak kalangan karena berkisah tentang hal-hal yang aneh di mata orang eropa. Tulisan-tulisan tersebut memberikan informasi tentang adanya adanya perbedaan fisik dan tatakehidupan manusia khususnya yang berada di luar Eropa.
Selasa, 28 September 2010
Telaah Singkat Strukturalisme Fungsional Terhadap Upacara Adat Nyale dan Pasola di Kalangan Penganut Marapu, Sumba Barat
Pendahuluan
Malinowski memulai perbincangan mengenai kebudayaan dalam bukunya A scientific Theory of culture and Other Essays, dengan memberikan pandangannya tentang bagaimana seharusnya ilmu sosial khususnya ilmu Antropologi sebagai ilmu yang memiliki dasar pijakan ilmiah. Pada masa itu kajian dalam ilmu sosial masih kuat dipengaruhi oleh pandangan evolusi, yang ditandai dengan kajian-kajian prasejarah khususnya arkeologi yang memiliki tujuan untuk membuat rekonstruksi kebudayaan masa lalu dari bukti-bukti yang sifatnya parsial sebagai sisa-sisa atau jejak dari masa lalu. Malinowski berpendappat bahwa bentuk kajian seperti itu merupakan bentuk kajian yang parsial dan spekulatif karena sifatnya hanya berupa interpretasi dari benda-benda mati dengan sumber informasi dari museum.
Malinowski memulai perbincangan mengenai kebudayaan dalam bukunya A scientific Theory of culture and Other Essays, dengan memberikan pandangannya tentang bagaimana seharusnya ilmu sosial khususnya ilmu Antropologi sebagai ilmu yang memiliki dasar pijakan ilmiah. Pada masa itu kajian dalam ilmu sosial masih kuat dipengaruhi oleh pandangan evolusi, yang ditandai dengan kajian-kajian prasejarah khususnya arkeologi yang memiliki tujuan untuk membuat rekonstruksi kebudayaan masa lalu dari bukti-bukti yang sifatnya parsial sebagai sisa-sisa atau jejak dari masa lalu. Malinowski berpendappat bahwa bentuk kajian seperti itu merupakan bentuk kajian yang parsial dan spekulatif karena sifatnya hanya berupa interpretasi dari benda-benda mati dengan sumber informasi dari museum.
Pokok-Pokok Pemikiran Emile Durkheim
Adalah Emile Durkheim, seorang pemikir asal Perancis yang dianggap sebagai tokoh peletak dasar pemikiran sosiologi sehingga menjadi sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang mapan. Kendatipun bukan dirinya yang meletakkan dasar pemikiran tentang sosiologi namun buah pikirannya telah menunjukkan dengan jelas antara disiplin yang lain terutama bidang sejarah dan psikologi. Baginya memikirkan tentang hakekat kanyataan adalah upaya yang tidak adaa gunanya, kemudian Durkheim mencoba meletakkan landasan dalam ilmu sosiologi dengan menunjukkan bahwa gejala sosial itu merupakan fakta yang riil dan dapat dipelajari dengan metode yang empiris. Pemikiran Durkheim sangat dipengaruhi oleh dasar pemikiran filsafat dari Agust Comte tentang tahap evolutif dari perkembangan pemikiran manusia yaitu dari tahap teologis atau fiktif, metafisis atau abstrak dan ilmiah atau positivis . Dalam tahap teologis, fenomena dijelaskan dengan menggunakan penjelasan yang bersifat teologis dan menyandarkan pada dogma/keyakinan religius. Gejala yang terjadi adalah kehendak dewa/kekuatan-kekuatan supranatural diatas kekuasaan/kemampuan manusia. Tahap pemikiran metafisis akan menjelaskan fenomena dengan penjelasan bahwa suatu gejala muncul sebagai manifestasi dari hukum alam, sedangkan pada tahap positivis suatu fenomena akan dijelaskan sebagai hubungan yang bersifat organis antar unsur-unsurnya. Pemikiran teoritik Durkheim sangat dipengaruhi oleh tahap katiga dari Comte. Tentunya hal ini seiring dengan masa hidup Durkheim pada abad abad ke-18 menuju ke abad ke-19 saat perkembangan ilmu sosial mengarah pada positivisme yaitu upaya ilmu pengetahuan untuk menemukan konsep-konsep dan pemikiran yang berorientasi ke depan, artinya ilmu pengetahuan harus memberikan kontribusi positif bagi kehidupan manusia. Manusia harus mempelajari gejala-gejala dan hubungan antar gejala supaya dapat meramalkan apa yang terjadi.
Langganan:
Postingan (Atom)