live cycle

live cycle

Selasa, 28 September 2010

Telaah Singkat Strukturalisme Fungsional Terhadap Upacara Adat Nyale dan Pasola di Kalangan Penganut Marapu, Sumba Barat

Pendahuluan
Malinowski memulai perbincangan mengenai kebudayaan dalam bukunya A scientific Theory of culture and Other Essays, dengan memberikan pandangannya tentang bagaimana seharusnya ilmu sosial khususnya ilmu Antropologi sebagai ilmu yang memiliki dasar pijakan ilmiah. Pada masa itu kajian dalam ilmu sosial masih kuat dipengaruhi oleh pandangan evolusi, yang ditandai dengan kajian-kajian prasejarah khususnya arkeologi yang memiliki tujuan untuk membuat rekonstruksi kebudayaan masa lalu dari bukti-bukti yang sifatnya parsial sebagai sisa-sisa atau jejak dari masa lalu. Malinowski berpendappat bahwa bentuk kajian seperti itu merupakan bentuk kajian yang parsial dan spekulatif karena sifatnya hanya berupa interpretasi dari benda-benda mati dengan sumber informasi dari museum.

Bertolak dari kritik tersebut kemudian Malinowski mengajukan pemikiran bahwa ilmu sosial harus melakukan terhadap masyarakat yang sedang terjadi sehingga dalam penelitian harus menemukan kejadian secara faktual. Kajian mengenai benda-benda mati di museum akan terjadi adanya bias karena benda-benda itu kehilangan kontek masa lalunya padahal konteks lingkungan menjadi penting karena hal itu merupakan titik penting dari apa yang namanya kebudayaan.
Lebih lanjut Malinowski memandang bahwa kajian mengenai kebudayaan akan mendapatkan dasar ilmiah yang kuat dengan menempatkan manusia sebagai fakta biologis. Sehingga asumsi-asumsi dalam ilmu biologi dapat digunakan untuk melakukan kajian dalam kebudayaan. Penempatan fakta biologis dalam kajian kebudayaan ini dilakukan Malinowski dengan alasan bahwa manusia adalah bagian dari organisme biologis. Dengan demikian manusia memiliki sifat seperti organisme lainya yaitu kebutuhan untuk mempertahankan diri. Kebutuhan untuk memperthankan diri tersebut di antaranya adalah pemenuhan kebutuhan dasar. Kebutuhan itu adalah makanan, reproduksi dan dan kesehatan. Untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut manusia membentuk lingkungan sekunder, untuk beradaptasi. Hal inilah yang menjadi unsur penting dalam kebudayaan. Dalam kaitanya dengan kebudayaan, Malinowski berpandangan bahwa kebudayaan itu memiliki berbagai bentuk manivestasi. Kebudayaan tampak dalam keutuhan dari alat-alat dan barang-barang konsumsi, hukum-hukum atau variasi kelompok-kelompok sosial, ide, keahlian-keahlian kepercayaan dan adat-istiadat.
Upaya lain dalam memenuhi kebutuhan dasar, kemudian manusia mengorganisasikannya dangan membentuk kelompok-kelompok sosial. Dalam mengorganisasikan ini akan memebentuk yang namanya institusi. Institusi ini bersama-sama berdiri sebagai bagian yang berbeda dengan yang lain dalam lingkungannya.
Dengan melihat bahwa masyarakat sebagai bagian dari organisme dan bertindak seperti organisme yang saling kait mengkai dengan organisme yang lain, Malinowski melihat bahwa pendekatan fungsional merupakan pendekatan yang sesuai untuk melihat hubungan fungsional yang organis dan menghindarkan dari pendekatan yang evolusioner dan sejarah.
Gagasan yang disampaikan Malinowski mengenai fungsionalisme masih bersifat embrio, perspektif tersebut kemudian mengalami penyempurnaan di berbagai sisi terutama setelah kembali di bahas oleh ilmuwan sosial sesudahnya seperti Radcliffe Brown, Edmund Leach dan Gluckman. Kendatipun dalam perkembangannya mengalami beberapa modifikasi pemikiran namun inti dari perspektif fungsionalisme dalam melakukan kajian mengenai persoalan sosial dan kebudayaan adalah melihat bahwa unsur-unsur sosial dalam masyarakat memainkan peran dalam masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat itu terdiri dari unsur-unsur pembentuk dan masing-masing unsur tersebut memiliki peran dalam mempertahankan sistem sosial yang ada. Sehingga dalam melakukan kajian sosial Kita harus mengetahui bagaimana perkaitan antara institusi-institusi atau struktur suatu masyarakat sehingga membentuk suatu sistem yang bulat (Kaplan, Maner, 2002:76)

Pasola, Eksistensi dan Pemikiran Tentang Kesuburan bagi Orang Sumba
Bertolak dari dasar pemikiran fungsionlisme di atas maka tulisan ini akan mancoba melakukan analisis mengenai peristiwa ritual adat Pasola yaitu suatu acara adat sebagai salah satu praktek agama marapu, yang dilakukan oleh orang Sumba. Kendatipun tulisan ini menggunakan titik tolak dari pemikiran Malinowski dan Brown namun data untuk dianalisis dalam tulisan ini bukanlah dari hasil penelitian lapangan sebagaimana ditekankan kedua pemikir tersebut. Bahan analisis saya kumpulkan dari studi pustaka dan data-data lain seperti dokumen audiovisual sebagai pendukungnya. Dengan demikian maka studi ini sifatnya merupakan tahap awal pemikiran.
Pada suatu hari, salah satu program acara “Potret” di stasiun televisi swasta SCTV menyajikan liputan mengenai acara adat Pasola. Dilihat dari asal katanya, “Pasola” berasal dari kata “sola” atau “hola” yang berarti lembing kayu, awalan “pa” menunjukkan arti saling, sehingga pasola memiliki pengertian, saling melempar lembing kayu. Dalam tayangan itu nampak ratusan orang berkumpul di tanah lapang untuk menyaksikan acara yang sedang berlangsung. Pada bagian lain terdapat para lelaki dengan kuda-kuda yang diberi hiasan warna-warni. Para laki-laki itulah yang akan menjadi peserta Pasola. Bagain tengah lapangan merupakan arena bagi para penunggang kuda untuk bertanding ketangkasan. Ketika acara dimulai, dua kelompok penunggang kuda saling berhadapan dengan membawa sebilah lembing kayu. Setelah itu mereka saling memacu kudanya untuk mendekat dan saling kejar untuk menghujamkan lembing kayu ke tubuh lawan. Lawan yang terkena lembing akan dianggap kalah kemudian adu ketangkasan itu akan berhenti, kelompok pasangan lawan lainnya akan kembali bersiap diri dan melakukan hal yang sama. Acara seperti itu berlangsung dari pagi hingga menjelang petang. Pasola merupakan klimak dari seluruh rangkaian acara Nyale, yaitu acara yang diadakan pada masa awal musim tanam.
Pasola diselenggarakan di Sumba Barat setahun sekali pada bulan Februari di Kodi dan Lamboya. Sedangkan pada bulan Maret diselenggarakan di Wanokaka. Meskipun demikian, orang dari manapun bisa ikut menjadi peserta dalam acara ini, tidak hanya terbatas orang-orang dari wilayah itu saja. Pada masyarakat Sumba, kesatuan tempat tinggal dan kerabat dikelompokkan berdasarkan kesatuan yang disebut dengan kabisu dan Paraingu. Kabisu adalah kelompok masyarakat berdasarkan hubungan kerabat, sedangkan Paraingu merupakan kelompok kerabat yang disatukan oleh kesamaan asal kampung. Sehingga setiap kabisu boleh saja mengikuti acara ini walupun berasal dari luar wilayah diselenggarakannya pasola
Acara pasola ini bukanlah acara yang profan sekedar menjadi tontotan bagi masyarakat atau menjadi event dalamagenda wisata Kabupaten, tetapi di dalamnya memiliki unsur spiritualitas keagamaan. Hal itu dapat dilihat dengan adanya mitos mengenai acara tersebut yaitu tantang hubungan percintaan anatar laki-laki dan perempuan. Adapun kisahnya sebagai berikut:
Konon ceritanya ada tiga bersaudara: Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dulla. Ketiga orang tersebut memberitahu warga kampungnya bahwa mereka akan pergi melaut. Namun pada kenyataannya mereka bertiga pergi ke Sumba Timur untuk mengambil padi. Setelah sekian waktu lamanya, mereka bertiga tidak kembali lagi ke kampung. Kemudian warga yakin bahwa ketiga orang itu telah meninggal. Rabu Kaba, istri yang telah ditinggalkan oleh Umbu Dulla, terjerat tali asmara dengan Teda Gaiparona, seorang laki-laki asal Kodi. Namun adat tidak mengijinkan mereka untuk kawin. Mereka kemudian kawin lari, dan Rabu Kaba dibawa kek kampung Kodi. Setelah perkawinan itu. Tiga bersaudara Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dulla muncul kembali ke kampungnya. Umbu Dulla menjadi marah ketika mendengar berita bahwa istrinya telah dilarikan Teda Gaiparona ke Kampung Kodi. Seluruh warga kemudian dikerahkan untuk mencari Teda Gaiparona Rabu Kaba ke kampung Kodi. Pasangan itu ditemukan di kaki gunung Bodu Hula, namun Rabu Kaba sudah tidak mau kembali lagi pada Umbu Dulla. Teda gaiparona kemudian menyanggupi untuk mengganti belis dari keluarga Umbu Dulla. Kemudian upacara perkawinan diselenggarakan setelah belis pengganti dilunasi. Teda Gaiparona meminta para warga untuk selalu mengadakan upacara pasola sebagai peringatannya. (Di sadur dari Situs resmi Pemkab Sumba Barat: http://www.sumbabarat.go.id)


Sebelum acara Pasola digelar, malam sebelumnya diwali dengan acara menangkap Nyale, yaitu munculnya cacing laut yang kemudian ditangkap oleh masyarakat sekitarnya untuk dimakan. Dalam kepercayaan merapu munculnya cacing laut itu dapat menjadi penanda akan kehidupan mereka di tahun yang akan datang. Cacing laut itu hanya muncul satu kali dalam satu tahun. Jika cacing yang muncul adalah cacing yang gemuk maka panen tahun depan akan bagus. Tetapi bila cacing yang muncul kurus, maka panen mereka akan kurus. Dari rangkaian acara itu juga diikuti dengan penyembelihan ayam sebagai hewan korban. Ayam-ayam disembelih para Rato sebagai seorang yang dianggap menjadi imam dalam agama marapu. Setelah itu para Rato memeriksa hati ayam yang sudah disembelih. untuk melihat dan meramal nasib dan kehidupan mereka pada tahun itu. Tidak hanya ayam saja yang dikorbankan dalam acara itu. Salah satu puncaknya adalah korban darah manusia, yaitu darah yang tertumpah dari peserta pasola. Mereka yakin bahwa darah orang yang terkena lembing kayu saat pasola akan dapat memberikan kesuburan bagi tanah Sumba.

Pada versi cerita lain dikisahkan bahwa Nyale berasal dari tradisi putri Nyale. Seorang putri dari raja Eberu di Mandalika. Putri Nyale dipinang oleh dua orang pangeran sehingga membuatnya bingung untuk menentukan pilihan. Dalam kebingungungan itu sang putri kemudian mengundang dua pangeran itu untuk menemuinya di pantai. Dalam kegelapan malam itu sang putri berdiri di sebuah bukit di tepi pantai. Saat kedua pangeran itu datang sang putri tidak kuasa untuk menyaksikan kedua pangeran itu berperang untuk mendapatkan cintanya. Maka kemudian sang putri menceburkan dirinya ke laut. Pada menjelang pagi, tubuh sang putri tidak ditemukan, yang muncul justru ribuan cacing laut berwarna putih hitam, hijau, hijau, putih, kuning dan coklat. Cacing itulah diyakini sebagai jelmaan putri Nyale sehingga disebut dengan cacing Nyale. (disadur dari SITUS : WWW.liputan 6.com)
Hingga kini, setiap kali, cacing-cacing itu muncul pada saat menjelang fajar pada awal musim panen, orang–orang dari berbagai temapt datang ke pantai untuk menangkap cacing-cacing tersebut untuk dimakan. Sekaligus sebagai tanda bahwa pasola akan segera diadakan. Kegiatan lain yang dilakukan pada saat dilaksanakannya pasola adalah acara berziarah ke makan leluhur. Dengan membersihkan baru kubur dan sesaji sirih pinang, orang-orang datang ke kampung besarnya sebagai bentuk dari penghormatan kepada arwah nenek moyang. Lagu Nyale dinyanyikan para pembantu Rato.

Pasola Perekat Soal Masyarakat
Fungsionalisme struktural mengasumsikan bahwa fenomena sosial-budaya itu layaknya sebuah organisme. Keberadaannya membentuk struktur terntentu sehingga antar unsur-unsur budaya memiliki hubungan yang fungsional. Artinya masing-masing-masing unsur tersebut akan memberikan kontribusi satu sama lain sehingga dapat mempertahankan eksistensi suatu kebudayaan. Dalam perspektif fungsionalisme Struktural melihat bahwa tata kerja struktur sosial budaya meliputi 4 hal yaitu ; (1) adaptation; merupakan proses penyesuaian diri secara berkelanjutan, terutama berkaitan dengan adaptasi terhadap lingkungan (2) goal attainment, merupakan upaya pencapaian tujuan sistem; (3) integration; merupakan perekatan dan penyatuan unsur-unsur sistem; dan (4) literacy pattern mempertahankan pola; kebakuan kinerja.
(http://pswsuka.org/newsletter.php?no=8&edisi=1&action=detail).
Kisah tentang pasola yang dipaparkan di atas sangat berkaitan erat dengan apa yang disebut mitos. Sebagai sebuah dongeng yang keberadaan peristiwanya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara faktual namun memiliki peran yang penting bagi dalm masyarakat. Dari kisah diatas ada beberapa hal yang penting untuk dilihat dari pespektif fungsional struktural yaitu dengan mengkaitkan mitos tersebut dengan kondisi sosial masyarakat.
Bagi kalangan penganut marapu, mempercayai bahwa mitos Nyale dan Pasola berkaitan dengan lingkungan pertanian dan kesuburan. Hal ini menarik untuk dilihat mengingat bahwa kondisi lingkungan dan ekologis Sumba kurang mendukung untuk pertanian, kondisi tanah tandus dengan curah hujan rendah. Munculnya mitos Nyale tentang kesuburan ini menjadi unsur penting bagi masyarakat untuk menghadapi akan ketikpastian hasil pertanian. Ketidakpastian masyarakat terhadap apa yang akan terjadi oleh Brown dilihat sebagai munculnya fenomena agama. Sehingga unsur religius itu memiliki fungsi dan peran terhadap upaya mengahadapi persoalan real dalam masyarakat.
Menyinggung pada bagian lain dari cerita di atas, mengenai peristiwa perang yang diekspresikan melalui Pasola menunjukkan bahwa hal ini menjadi upaya untuk menyelasaikan persoalan dan mengembalikan. Tatanan sosial yang sudah terganggu. Peristiwa kawin lari merupakan suatu aib dan mengganggu kestabilan (ekuilibirium) dalam sistem sosial masyarakat, sehingga harus ada upaya untuk mengembalikan kepada kondisi yang stabil. Dan Pasola menjadi jawaban atas kebutuhan utuk kembali menstabilkan sistem sosial yang sudah terganggu dan kembali menjadi perekat sosial masyarakat.

1 komentar:

  1. Yuk Coba Pengalaman Taruhan Live Casino Online Terbaik Dan Terlengkap !
    .
    • SBOBET CASINO
    • MAXBET CASINO
    • 368BET CASINO
    • GD88
    • CBO55
    • WM CASINO
    • SV388 Sexy Baccarat
    • venus Casino

    Bonus Rollingan Terbesar s/d IDR 500.000.000,- Bonus 10% New Member Hanya Di Bolavita.

    Bonus Casino Live Komisi Rollingan 0.5% + 0.7% Setiap Minggu Hingga Ratusan Juta.

    Bonus Ini Diberikan Pada Pemain Casino Baik Menang ataupun Kalah.

    Daftar Sekarang Juga Di Website www. bolavita. site

    Info Lengkap Hubungi Customer Service Kami ( 24 JAM ONLINE ) :

    BBM: BOLAVITA
    WeChat: BOLAVITA
    WA: +62812-2222-995
    Line : cs_bolavita

    BalasHapus