live cycle

live cycle

Jumat, 22 Januari 2010

Indeks Pendidikan Naik

Indeks Pendidikan Naik
Urutan Indonesia Masih Ke-65 di Dunia
Jumat, 22 Januari 2010 | 04:48 WIB

Jakarta, Kompas - Indeks pembangunan pendidikan untuk semua atau education for all di Indonesia membaik. Meskipun masih berada dalam kategori negara dengan pencapaian sedang, posisi Indonesia semakin dekat untuk bisa masuk dalam kategori pencapaian tinggi.

Indeks Pembangunan Pendidikan atau Education Development Index (EDI) dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium di atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80.

Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2010 yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan Selasa (19/1) kemarin, EDI Indonesia tahun 2007 adalah 0,947. Nilai itu naik dari tahun sebelumnya yang mencapai 0,925.

Indonesia pada saat ini berada di urutan ke-65 dari 128 negara. Sebanyak 62 negara berada dalam kategori pencapaian tinggi, di antaranya Brunei. Sebanyak 36 negara di kategori sedang, di antaranya Indonesia, Malaysia (69), dan Filipina (85). Sisanya masuk dalam kategori rendah, seperti India, Kamboja, Laos, dan Nigeria.

Tiap tahun

Global Monitoring Report dikeluarkan setiap tahun yang berisi hasil pemonitoran reguler pendidikan dunia. Indeks pendidikan tersebut dibuat dengan mengacu pada enam tujuan pendidikan EFA yang disusun dalam pertemuan pendidikan global di Dakar, Senegal, tahun 2000.

Total nilai EDI diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori penilaian, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar.

Meskipun pencapaian EDI di banyak negara semakin membaik, diingatkan supaya tetap fokus untuk menjangkau anak- anak marginal. Terjadinya krisis ekonomi global dikhawatirkan semakin sulit bagi anak-anak marginal untuk mengakses pendidikan.

Anak-anak marginal adalah mereka yang menjadi korban dari kemiskinan, hidup di daerah terpencil dan konflik, serta mengalami diskriminasi etnis, bahasa, kemampuan, dan penyakit.

Implikasi luas

Irina Bokova, Direktur Jenderal UNESCO, mengingatkan kemunduran dalam bidang pendidikan berimplikasi luas dalam kehidupan. Pendidikan yang rendah akan menimbulkan persoalan pertumbuhan ekonomi yang rendah, kemiskinan, kesehatan, serta bidang lainnya.

Ferdiansyah, anggota Komisi X DPR, mengatakan, meskipun berdasarkan data yang dilansir pemerintah, pencapaian pendidikan dasar sudah selesai, nyatanya di jalanan kota-kota besar masih banyak anak usia wajib belajar yang tidak berada di bangku sekolah saat jam belajar.

”Kita tidak mau berdebat soal data yang tercapai. Tetapi, kita ingin melihat semua anak, tanpa terkecuali, berada di sekolah saat jam belajar. Ini tugas pemerintah untuk menjamin tidak ada anak usia belajar yang tidak bisa mengenyam pendidikan,” kata Ferdiansyah.

Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan Nasional, mengatakan, pendidikan yang dilaksanakan tidak boleh diskriminatif. Pemerintah terus bekerja untuk mengatasi hambatan anak-anak belajar dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas. (ELN)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/22/04481649/indeks.pendidikan..naik.

Menjadi Guru

Menjadi Guru
Kamis, 21 Januari 2010 | 11:52 WIB

Oleh Asep Imaduddin

Profesi guru (negeri) telah menarik sebagian perhatian, entah bagi mahasiswa calon guru alias yang berkuliah di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), guru swasta, guru sukarelawan, dan terlebih lebih guru PNS. Saat ini menjadi guru negeri yang diangkat pemerintah dianggap cukup menjanjikan bagi penopang kehidupan di masa datang. Maka, tak heran setiap pendaftaran calon guru negeri selalu dipenuhi pelamar melebihi formasi yang ditawarkan.

Tak dapat dimungkiri, pascareformasi profesi guru lambat laun mendapat tempat terhormat di masyarakat setelah sekian lama selalu kalah dengan profesi klasik-populer, semisal dokter, insinyur, dan pilot. Berprofesi guru (negeri) menjadi perbincangan seksi, tidak kampungan, berwibawa, tidak memalukan, dan menjanjikan bagi pegangan masa depan kelak.

Ada benarnya apa yang pernah dinyatakan Eko Prasetyo dalam bukunya Guru: Mendidik Itu Melawan (2006: 159) bahwa Undang-Undang Guru Nomor 14 Tahun 2005 telah menjadi tonggak dasar penempatan dan reposisi guru di mata negara. Ikhtiar untuk munculnya guru yang profesional, cakap, dan mampu memenuhi tujuan dasar pendidikan dirintis melalui pemberlakuan sejumlah pasal pokok dan perlu.

Adanya UU Guru menjadikan profesi ini mendapat perlakuan dan jaminan yang dilindungi negara dengan segala risiko dan konsekuensi yang akan diterimanya. Tentu tak sembarangan untuk mendapatkan jaminan negara yang berkorelasi langsung dengan kesejahteraan. Ia memerlukan syarat-syarat kecakapan dan kompetensi yang diperlukan untuk hal itu. Kita mengenalnya sebagai sertifikasi.

Sertifikasi adalah buah bibir bagi guru. Ia semacam mimpi yang akan terlihat nyata di keesokan hari, terlepas dari segala kontroversi yang dituduhkan sebagian pengamat pendidikan. Ia semacam remunerasi bagi guru berkompeten.

Sertifikasi bagi guru negeri dan impassing bagi guru swasta menjadi mantra ampuh bagi sebagian besar guru agar bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Kemampuan dan kompetensi guru dilecut agar ia benar-benar berfungsi layaknya seorang "guru", digugu dan ditiru.

J Drost, seorang pengamat dan praktisi pendidikan, mengatakan bahwa sekarang ini di Indonesia tidak ada guru yang memenuhi syarat sebagai guru. Tentu, bukan tanpa alasan ia mengatakan hal ini. Minimal ia mengamati fenomena perkembangan pendidikan belakangan ini yang mungkin menurutnya-meminjam judul buku Darmaningtyas-pendidikan rusak-rusakan.

Yang jelas, konsepsi sertifikasi adalah sebentuk kemajuan dari pemerintah yang telah memerhatikan nasib guru yang pada masa Orde Baru selalu menjadi alat negara dan distigmatisasi sebagai profesi yang tidak populer dan buram di masa depan.

Priayi modern

Menjadi guru saat ini berarti menjadi priayi modern masa kontemporer walaupun memang tak sehebat dan tak sehormat pada masa kolonial Belanda. Menjadi guru masa kolonial adalah pertanda baik mencapai kesejahteraan dan menjadi orang terpandang di lingkungan masyarakatnya. Penjajahan mungkin buruk dari segi ketakmerdekaan, tetapi mungkin baik untuk segi yang ini.

Sastrawan Umar Kayam (alm) dengan sangat bagus dalam novelnya yang terkenal, Para Priyayi (2001: 29), melukiskan perjalanan seorang pribumi anak petani yang melakukan mobilitas vertikal menjadi seorang guru.

"Hari itu saya, Soedarsono, anak tunggal Mas Atmokasan, petani Desa Kedungsimo, pulang dari Madiun dengan berhasil mengantongi beslit guru bantu di Ploso. Guru bantu. Itu berarti sayalah orang pertama dalam keluarga besar kami yang berhasil menjadi priyayi meskipun priayi yang paling rendah tingkatnya. Itu tidak mengapa. Yang penting kaki saya sudah melangkah masuk jenjang priyayi. Beberapa tahun lagi, kalau saya rajin dan setia pada gupermen, saya akan menjadi guru penuh sekolah desa. Itu akan lebih memantapkan kedudukan saya sebagai priyayi, sebagai abdi gupermen. Dan kalau saya sudah menjadi mantri guru, wah, itu sudah boleh dikatakan menjadi priyayi yang terpandang."

Begitu terhormatnya sosok guru di masa kolonial. Tak mengherankan guru pada masa kolonial termasuk menjadi golongan priayi mobilitas vertikal. Sejak masuk Kweekschool-di Indonesia pertama kali berdiri pada 1852-mereka mengajar di gedung cukup mewah, terdapat internat, dan perpustakaan yang cukup baik untuk kala itu. Secara ekonomis, seperti yang ditulis Mochtar Buchori dalam bukunya Evolusi Pendidikan di Indonesia, menjadi guru kala itu cukup memadai pada zamannya.

Guru yang diangkat Pemerintah Hindia Belanda mendapat gaji permulaan sebesar f 70 (70 florins atau guldens). Adapun mereka yang bekerja di sekolah swasta pada umumnya mendapat gaji sekitar f 45 guldens (Mochtar Buchori, 2007: 22).

Masa kepopuleran profesi guru berangsur pudar setelah Indonesia merdeka. Negara yang baru saja lepas dari penjajahan sibuk dengan-Muchtar Buchori menyebut periode dari 1945 sampai 1949-rehabilitasi sistem, 1950-1965 ekspansi sistem, dan 1966-1998 sebagai periode modernisasi, rasionalisasi, dan ambivalensi tanpa memerhatikan secara serius betul terhadap nasib pendidik yang menjadi corong terdepan dalam transfer ilmu pengetahuan dan pemahaman moralitas terhadap anak didik.

Pada masa itu perannya diperlemah-dininabobokan dalam tagline pahlawan tanpa tanda jasa dan peran politiknya dikebiri-dan tak banyak yang mau menjadi guru dalam arti sesungguhnya. Bu Muslimah dan Pak Harfan dalam Laskar Pelangi mungkin sebuah kekecualian.

Ironi

Awalnya, ihwal menjadi guru adalah berani menderita dan sepenuhnya berkhidmat untuk moralitas dan ilmu pengetahuan. Namun, secara manusiawi ia butuh penghargaan dan penghidupan layak agar ia bisa berdiri tegak di hadapan anak didiknya. Tentu sebuah ironi jika seorang guru tak cakap dan kompeten dalam meng-upgrade kemampuannya hanya karena terkendala biaya, sedangkan anak didiknya sudah melangkah jauh di depan hanya karena ia anak orang berada dan mendapat fasilitas wah dari orangtuanya.

Untuk menjadi guru yang baik, tulis Muchtar Buchori, di samping profesionalisme, juga diperlukan kedamaian dengan dirinya sendiri. Barangkali ini salah satu esensi dari kultur keguruan.

Ada baiknya dicamkan parafrasa dari seorang sastrawan Indonesia nomor wahid, Pramoedya Ananta Toer, dalam novel tipisnya Bukan Pasar Malam tentang seorang guru. "Seorang guru adalah kurban, kurban untuk selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat, membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh anak anak bangsa."

ASEP IMADUDDIN AR Alumnus Pesantren Darussalam Ciamis dan Sejarah UPI; Bekerja di MTsN Pusakanagara Subang
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/21/11521228/.menjadi.guru