live cycle

live cycle

Kamis, 05 Desember 2013

Etnofotografi Selayang Pandang


Pendahuluan
Saat ini memotret sangat mudah dilakukan. Kemudahan ini terutama ditunjang oleh keberadaan teknologi kamera yang sangat portable dan mudah digunakan. Berbagai pilihan kamera tersedia sesuai dengan yang kita inginkan, dari yang paling sederhana, hingga yang canggih dan rumit. Kehadiran teknologi digital memang telah memudahkan untuk memotret. Sekarang kita dapat memotret setiap waktu karena kamera hampir selalu berada dalam genggaman tangan atau di balik saku pakaian kita.  Bagi yang suka narsis dan “aktivis” jejaring sosial, memotret menjadi bagian dari keseharian. Bahkan kini segala sesuatu yang ada akan berakhir dalam sebuah foto.
            Dalam ilmu antropologi, penggunaan fotografi sebagai bagian dari kerja etnografi sudah dilakukan sejak lama. Dalam proses penelitian (khususnya Antropologi) pengumpulan data melalui observasi merupakan bagian yang selalu dilakukan. Seorang peneliti akan mengumpulkan data dengan melihat perilaku, interaksi, dan tentu saja artefak masyarakat yang diteliti. Data dikumpulkan dengan mengandalkan kekuatan indera pengelihatan (mata) yang dimiliki peneliti, namun pada prakteknya kemampuan mata manusia terbatas. Apa yang kita lihat hanyalah yang ingin kita lihat dan kita ingin menanggapinya (Collier, 1990). Sehingga seringkali kita memiliki perbedaan terhadap apa yang dilihat oleh orang lain walaupun dalam posisi geometris yang nyaris sama.
            Kamera dengan kemampuan optisnya menjadikannya sebagai alat yang dapat memperluas jangkauan indera kita. Kamera sangat dipercaya untuk merekam suatu obyek bahkan yang tidak mampu dilihat oleh mata manusia. Misalnya obyek yang sangat kecil, sangat jauh, atau obyek yang bergerak sangat cepat.  Seperti yang banyak dilakukan dalam disiplin mikrobiologi dan astronomi. Sedangkan dalam ilmu sosial keberadaan kamera mampu menghasilkan rekaman yang tidak terbantahkan. Melalui foto, seseorang dapat melintasi batas ruang dan waktu,  menggugah perasaan sehingga mampu membawa suasana seolah-olah nyata dalam sebuah citra visual. Keberhasilan Talbot menciptakan kamera yang mampu merekam citra visual yang nyaris persis sama dengan apa yang direkam memunculkan pandangan bahwa fotografi merupakan “The Pencil of Nature”. Rekaman melalui kamera dianggap lebih alami, valid, dan objektif dibandingkan dengan lukisan meskipun lukisan sangat mirip dengan kenyataan. Dengan melihat foto seolah-olah merasa berada dan menyaksikan langsung peristiwa yang berlangsung. Kamera ditempatkan sebagai alat yang mampu menghasilkan rekaman atas peristiwa yang benar-benar terjadi di sana, pada saat itu. Namun, eksistensi foto menjadi ambigu. Meskipun diyakini bahwa apa yang terekam dalam sebuah foto adalah peristiwa yang benar terjadi pada ruang dan waktu tertentu, namun bagaimanapun juga foto itu bukanlah peristiwanya, sehingga terjadi  jarak antara foto dengan peristiwanya.
            Periode awal penelitian antropologi yang menggunakan foto sebagai bagian/alat beretnografi khususnya untuk mengumpulkan data telah dilakukan oleh  Gregory Bateson dan Margaret Mead pada tahun 1940an. Mereka menggunakan foto untuk menunjukkan karakter orang Bali.  Kemudian Richard Sorenson mengikuti jejak Margaret Mead meneliti tentang perkembangan anak di New Guinea. Penggunaan data visual dalam penelitian antropologi yang paling lazim adalah untuk ilustrasi terhadap persoalan apa yang diteliti. Ilustrasi tersebut setidaknya untuk meyakinkah bawa peneliti pernah hadir di sana (being there).




Etnografi dan Fotografi
            Etnografi, dalam pengertian paling sederhana adalah tulisan, diskripsi, penggambaran, tentang suku bangsa tertentu. Diskripsi tersebut berisi tentang berbagai hal menyangkut kehidupan manusia, baik aspek fisik (ciri-ciri biologis) maupun non fisik misalnya nilai, adat istiadat, dan cara hidup. Dalam pengertian ini etnografi mengacu pada hasil yang berupa manuskrip tentang kebudayaan suatu komunitas/masyarakat. Etnografi konvensional umumnya berwujud diskripsi tertulis. Kalaupun disertai dengan sajian visual, umumnya berupa ilustrasi tentang sesuatu yang bersifat fisik, misalnya foto tentang pakaian adat suatu masyarakat, peralatan kerja atau ritual yang digunakan, dll. Pada pengertian lebih lanjut etnografi mengacu pada metode, yaitu cara yang dilakukan untuk menghasilkan diskripsi (tulisan) tentang suatu kebudayaan
            Etnofotografi, merupakan perpaduan antara etnografi dan fotografi. Sebagai sebuah metode, etnofotografi merupakan kerja etnografi yang menggunakan medium fotografi untuk menunjang kerjanya baik dalam pengumpulan data, analisis, dan hasilnya. Dengan demikian penggunaan materi visual (fotografi) menjadi bahan utama untuk beretnografi.  Pertanyaan selanjutnya adalah foto semacam apa yang dapat dijadikan bahan untuk beretnografi, apakah foto harus dipotret oleh peneliti, atau foto yang dipotret oleh subyek yang diteliti, atau dapat berasal dari foto yang diprotret oleh orang lain? Tidak ada batasan baku mengenai hal ini. Materi foto bisa diproduksi oleh peneliti sebagai bagian dari penelitian, bisa berasal dari dokumen serta subyek secara spontan atau yang direncanakan sebagai bagian dari riset, serta kombinasi dari materi lain. 
           
Asumsi dan Kerja Etnofotografi
            Foto (maupun video) dianggap sebagai rekaman dari peristiwa yang faktual, benar-benar terjadi sebagaimana kenyataannya. Rekaman kamera seolah-olah menghadirkan kembali peristiwa yang sudah berlangsung pada ruang dan waktu yang telah lalu ke ruang dan waktu yang berbeda. Rekaman kamera dianggap dapat merepresentasikan kenyataan secara persis dan obyektif. Benarkah demikian? Tentusaja tidak. Foto merupakan  hasil rekaman kamera bersifat paradoks. Benar bahwa apa yang terekam oleh kamera berasal dari peristiwa yang benar-benar terjadi namun hasil rekaman tersebut bukanlah peristiwanya. Selalu ada jarak antara hasil rekaman kamera dengan peristiwanya. Foto setangkai bunga mawar yang sangat persis dengan aslinya tantunya akan memberikan situasi yang berbeda antara menyentuh dan mencium bunga mawar sungguhan dengan selembar foto bunga mawar. Selain itu, ketika merekam dengan menggunakan kamera, kita terlibat dalam proses menyeleksi peristiwa mana yang akan direkam, dan mana yang tidak. Sudut pengambilan, posisi kamera, pencahayaan, dan aspek teknis lainnya akan menimbulkan efek (makna) yang berbeda ketika dilihat. Kalau foto itu bersifat paradoks, lalu bagaimanakah sikap dan perlakuan kita terhadap hasil rekaman kamera? Apakah hasil rekaman terebut dapat dipercaya sebagai data yang valid untuk bahan beretnografi?
             Upaya yang dapat dilakukan terhadap foto  adalah melakukan penafsiran. Melalui kajiannya terhadap fotografi, Barthes (1981) menjelaskan bahwa dalam sebuah foto terkandung dua tingkat pemaknaan yaitu tingkat denotatif dan konotatif. Pada tingkat denotatif, citra visual sebuah foto dapat menunjukkan hubungan analogis dengan kenyataan. Dengan mudah kita dapat menunjuk dengan jari untuk mendiskripsikan hubungan citra visual dengan kenyataan. Sedangkan pada tingkat kedua berupa pemaknaan konotatif. Pada tingkat konotatif pemaknaan hadir melalui proses penafsiran yang melibatkan konteks kultural, historis, ideologis, juga politis. Oleh karena itu maknanya akan berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Pandangan yang sama, gambar yang sama, obyek yang sama, tidak menjamin akan memiliki makna yang sama. Subyektifitas fotografer telah menghasilkan suatu gambar yang melahirkan makna yang lain bagi setiap orang yang memandangnya--bahkan fotografernya (Ajidarma, 2002).
            Ketika melakukan pembacaan konotatif, aspek historis, ideologis, dan politis turut berperan. Oleh karena itu foto perlu didukung dengan kehadiran teks dalam bentuk caption. Melalui caption, foto-foto diberi konteks namun foto bukan sebagai ilustrasi tetapi untuk merasionalisasikan foto.
            Bagaimana kerja etnofotografi dilakukan? Melakukan kerja etnofotografi tidak ubahnya melakukan kerja etnografi sebagaimana dilakukan dalam disiplin antropologi pada umumnya yaitu mengumpulkan data, melakukan analisis, dan menyusun etnografi dalam rangka untuk menjawab persoalan (kebudayaan) tertentu. Perbedaan utama terletak pada penggunaan medium foto sebagai bagian dari data, analisis, dan hasilnya. Foto diletakkan sebagai data, yang kemudian harus dibaca (ditafsirkan) dengan ditunjang oleh data lain yang dapat berupa foto lain, atau data lain hasil observasi, wawancara, atau studi pustaka.
            Dalam proses kerja etnofotografi tidak ada aturan tegas tentang mana yang dikerjakan dahulu, antara memotret terlebih dahulu, atau mendapatkan data baru kemudian memotret. Keduanya dapat dilakukan tergantung dari kebutuhan. Perbedaan terletak pada perlakuan terhadap data visual (foto) dalam penelitian yang lazim, data yang berupa foto hanya ditempatkan sebagai pelengkap atau ilustrasi saja dari data lain. Namun dalam etnofotgrafi data foto menjadi penting untuk dianalisa dan dimunculkan sebagai hasil etnografi.
            Analisis foto dilakukan dengan cara yang secara teoritik mengacu pada pemikiran Barthes yang sudah disinggung pada bagian sebelumnya. Foto merupakan teks, tanda, yang harus ditafsirkan. Foto-foto tersebut ditatap secara aktif. tidak sekedar dilihat kemudian dinilai baik dan buruknya (dengan ukuran tertentu)  tetapi dilihat dengan lebih rinci, jika ada bagian detail yang belum diketahui maka harus dicari jawabannya. Sehingga tidak cukup hanya dengan sekali melihat tetapi harus memilah dan membongkar apa saja yang tampak dan tidak tampak. Karena dibalik apa yang terlihat dari sebuah foto perlu disadari bahwa secara bersamaan ada yang tidak terlihat dan yang tidak terlihat itulah yang membuat sesuatu menjadi terlihat (Marelau-Ponty, 1968).
Ralph D. Freso—Reuters
Nov. 22, 2013. A worker gathers items for delivery from the warehouse floor at Amazon's distribution center in Phoenix, Arizona.
http://lightbox.time.com/2013/11/29/pictures-of-the-week-november-22-november-29/?iid=lb-late1#1

Olivier Laban-Mattei
http://espiya.net/forum/index.php?topic=138139.0


            Ungkapan klise yang berbunyi “A picture is worth a thousand words”  seringkali menjadi jebakan bahwa foto dapat “berbicara sendiri” tanpa perlu bantuan apapun. Etnofotografi menempatkan foto bukan sebagai foto yang dapat berbicara sendiri tetapi foto harus dibicarakan. “Membicarakan” foto dilakukan dengan meletakkan konteks tertentu pada foto sehingga foto tersebut “mampu berbicara”. Memberikan konteks pada foto dilakukan dengan dukungan foto lain atau data lain. “mendialogkan” satu foto dengan foto lain serta data (verbal) dengan menyeleksi (baca: menganalisis) dengan  cara mengklasifikasikan, dan mengurutkan foto berdasar kategori tertentu sesuai dengan persoalan yang ingin diungkapkan. Kategori tidak dilakukan dengan ukuran suka-tidak suka, indah-tidak indah atau teknik yang benar atau kategori lain, seperti jurnalistik, human interest, seni, dll. Kategori didasarkan pada cara pembacaan yang ditawarkan oleh Roland Barthes (1981) dengan Studium dan Punctum.


            Mengurutkan foto didasarkan pada urutan horisontal (sintagmatik) dengan mempertimbangkan kesinambungan antara foto satu dengan yang lain. Foto juga diurutkan secara vertikal (paradigmatik) yaitu proses penempatan foto melalui hubungan asosiatif atau keserupaan.  Mengurutkan foto secara sintagmatik dilakukan dengan melakukan pembacaan metonimik, yaitu hubungan kesetaraan atau kesamaan bentuk. Sedangkan urutan paradigmatik dilakukan dengan pembacaan secara metaforik atau hubungan yang bersifat kiasan.  Tentu saja semua itu tidak terlepas dari pertanyaan/persoalan yang ingin diungkapkan dari diskripsi etnografi yang ingin disampaikan.

Catatan Penutup
            Menyajikan hasil kerja etnofotografi kepada pembacanya (dalam bentuk pameran) tidak dapat menjamin bahwa apa yang diinginkan oleh penyusunnya akan dipahami, atau ”disetujui” oleh pembacanya (publik). Keberadaan foto yang memiliki sifat paradoks membuka peluang yang luas bagi siapapun untuk melakukan pembacaan dan pemaknaan secara lebih tajam sesuai dengan pengalaman dan kehendak politiknya. Dengan demikian karya etnofotografi tidak berhenti setelah disajikan ke hadapan publik tetapi melalui sajian dalam bentuk tatapan mata diharapkan akan hadir suara-suara (tafsir) lain yang lebih tajam dan kritis terhadap suatu fenomena budaya.

Daftar Bacaan
Ajidarma, Seno Gumira, 2002. Kisah Mata. Yogyakarta: Galang Press.
Barthes, Roland. 1981. Camera Lucida: Reflection on Photography. New York: Hill and Wang.
Collier , John, and Collier, Malcolm. 1986. VISUAL ANTHROPOLOGY Photography as a Research Method. Revised Edition. The University of New Mexico Press.

Heider, Karl G. 2006. Ethnographic Film. University of Texas Press.

Marleau Maurice-Ponty, 1968. The Visible and The Invisible.  Northwestern University Press. America.

Raap, Oliver Joannes. 2013. Pekerjda di Djawa Tempo Doeloe. Yogyakarta: Percetakan Galang Press.

Strong, Austin Mary and Wilder Laena. 2009. Visual Anthropologists at Work. The University of Texas Press.


[1] Disampaikan sebagai pengantar workshop etnofotografi dalam rangka ulang tahun Mapagama-UGM, 2-4 Desember 2013 di Benteng Vredeburg, Yogyakarta

1 komentar:

  1. Yuk Coba Pengalaman Taruhan Live Casino Online Terbaik Dan Terlengkap !
    .
    • SBOBET CASINO
    • MAXBET CASINO
    • 368BET CASINO
    • GD88
    • CBO55
    • WM CASINO
    • SV388 Sexy Baccarat
    • venus Casino

    Bonus Rollingan Terbesar s/d IDR 500.000.000,- Bonus 10% New Member Hanya Di Bolavita.

    Bonus Casino Live Komisi Rollingan 0.5% + 0.7% Setiap Minggu Hingga Ratusan Juta.

    Bonus Ini Diberikan Pada Pemain Casino Baik Menang ataupun Kalah.

    Daftar Sekarang Juga Di Website www. bolavita. site

    Info Lengkap Hubungi Customer Service Kami ( 24 JAM ONLINE ) :

    BBM: BOLAVITA
    WeChat: BOLAVITA
    WA: +62812-2222-995
    Line : cs_bolavita

    BalasHapus