live cycle

live cycle

Kamis, 06 Agustus 2009

Berbagi Kuasa Lewat Kamera

Gunawan

Pengantar
Saat ini media visual telah menjadi bagian yang sangat dekat dengan hidup kita sehari-hari. Setiap waktu mata kita dapat dengan mudah menangkap cira visual dalam ruang-ruang keseharian dalam berbagai bentuknya baik citra visual yang dihadirkan oleh institusi yang terorganisir maupun pribadi yang mandiri. Kondisi ini terjadi salah satunya akibat perkembangan teknologi dalam memroduksi citra visual baik dalam bentuk video ataupun foto. Peralatan produksi adiuovisual yang semakin praktis dan sederhana dalam pengoperasiannya memungkinkan setiap orang dapat menggunakannya untuk berbagai kepentingan. Namun kemudahan dalam memroduksi citra visual umumnya masih sebatas untuk memenuhi hasrat kesenangan individu atau sekedar menjadi bagian dari gaya hidup, belum banyak dimanfaatkan secara kreatif dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
Media visual khususnya video memiliki daya bujuk-rayu (persuasion) yang sangat hebat bagi pemirsanya karena kemampuannya dalam menirukan dan memindahkan berbagai peristiwa ke dalam citra visual hingga nyaris seperti aslinya. Kemampuan media visual dalam bujuk rayu tersebut telah menjadi bagian alat propaganda massa untuk mempengaruhi tindakan, sikap, dan pola pikir sesuai dengan yang diinginkan oleh pembuat citra, yang saat ini berada di tangan pemilik modal baik berupa financial maupun kuasa. Akibatnya seringkali citra visual yang ditampilkan menjadi kontraproduktif bagi pembelajaran masyarakat. Masyarakat hanyalah menjadi sasaran pasar potensial dari berbagai kepentingan para pembuat, pengelola, dan pemilik, atau penguasa media.

Video Komunitas: Pergulatan dalam Bermedia
Di tengah keberadaan media yang semakin hegemonik, muncullah upaya-upaya kritis dan kreatif berbagai pihak, (khususnya NGO) untuk memberikan akses kepada masyarakat lapis terbawah/komunitas tertentu untuk mempergunakan media audiovisual sebagai upaya dalam mendorong terjadinya perubahan sosial. Secara sederhana perubahan sosial dipahami sebagai aksi kolektif yang terorganisir untuk mendorong lahirnya kehidupan masyarakat yang lebih baik. adil, dan sejahtera. Sehingga masyarakat tidak hanya terjerat dalam media yang dikuasai oleh segelintir elit namun mereka dapat memediasikan dirinya sesuai dengan cara pandang mereka sendiri terhadap berbagai hal dalam kehidupan sehari-harinya. Semangat itulah yang mendorong munculnya bebagai bentuk media komunitas satunya dalam bentuk video komunitas.
Pada tahun 2001 Etnoreflika memulai suatu program workshop video dengan komunitas anak jalanan perempuan di Yogyakarta yang menghasilkan sebuah video berjudul “Bunga Trotoar”. Video tersebut merupakan refleksi dari peristiwa yang dialami kehidupan anak jalanan perempuan di Yogyakarta yang bercerita tentang bagaimana anak-anak tersebut mempertahankan diri hidup di jalan dengan segala stigma sosial yang melekat sebagai anak jalanan perempuan. Workshop tersebut merupakan workshop pertama Etnoreflika dalam program “Kamera Untuk Rakyat”.
Dalam program tersebut anak-anak jalanan perempuan bersama-sama dengan para fasilitator dari Etnoreflika mengadakan workshop untuk memroduksi sebuah video. Sejak proses eksplorasi tema, menyusun cerita, berlatih menggunakan alat perekam (kamera) pengambilan gambar hingga proses editing dilakukan oleh anak-anak jalanan perempuan. Singkat kata, seluruh proses pembuatan video dikerjakan oleh komunitas itu.
Program serupa juga dilakukan dengan komunitas yang berbeda-beda, di antaranya adalah adalah komunitas anak jalanan dan pengamen; komunitas anak-anak perempuan pengamen di stasiun kereta api Lempuyangan; kader petani rehabilitasi hutan; anak-anak desa di pinggiran Yogyakarta, ibu-ibu kader Pos Yandu; anak-anak remaja di pinggiran sungai Code.
Dalam program workshop yang diselenggarakan oleh Etnoreflika ini, para peserta diberi ruang untuk menyampaikan pengalaman dan cara pandang dirinya terhadap suatu persoalan, yang diwujudkan melalui cerita yang kemudian dikembangkan menjadi alur cerita. Peserta bersama-sama melakukan eksplorasi cerita, menyusun adegan, merekam gambar, dan berperan sebagai aktor untuk dirinya sendiri. Jadi secara keseluruhan mereka terlibat secara aktif dalam proses pembuatan video. Selama proses workshop peserta berdiskusi untuk menemukan kesepakatan bersama mengenai persoalan yang akan menjadi tema dalam cerita video. Selain itu perserta berlatih mengenai cara mengembangkan tema tersebut, mentransformasikan ke dalam bentuk gambar, dan merekamnya dengan menggunakan kamera. Pada tahap akhir peserta workshop bersama-sama melakukan editing, melihat gambar-gambar hasil rekaman, menyeleksi dan memilih gambar yang sesuai dengan yang diinginkan kemudian menyusunnya ke dalam suatu logika dan sudut pandang tertentu.
Selama proses ini peserta workshop merupakan peserta yang aktif dan secara partisipatoris terlibat dalam kegiatan. Partisipatori bukan hanya keterlibatan secara fisik tetapi juga memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk menunjukkan eksistensinya. Dalam melakukan eksplorasi cerita, setiap orang didorong untuk mengungkapkan pengalaman, pendapat dan cara pandang dirinya terhadap peristiwa yang pernah dialaminya. Proses ini menjadi proses belajar untuk berbagi pengalaman, berani berbicara di dalam komunitasnya, mendengarkan orang lain, mengapresiasi, dan saling memberikan komentar, melihat perbedaan serta belajar menerima pendapat orang lain.
Dalam workshop ini peserta workshop diberi ruang seluas mungkin untuk menyampaikan gagasan mengenai cerita yang akan dibuat, ide yang muncul berasal dari peristiwa yang pernah dialami. Proses ini berlanjut pada proses produksi dengan memberikan kamera kepada peserta sehingga mereka dapat menentukan sendiri apa yang akan direkam, dari mana dan seperti apa adegan yang akan direkam. Keterlibatan peserta dalam proses pasca produksi juga menjadi bagian yang penting. Melihat hasil rekaman, menyeleksi gambar/adegan yang dipilih, kemudian mengurutkannya ke dalam suatu alur tertentu membuat anak-anak menemukan sesuatu dari apa yang dia lihat dari hasil rekaman kamera. Pada proses ini anak-anak diajak kembali memikirkan, belajar menganalisis suatu persoalan sehingga menemukan kesadaran-kesadaran baru dari pengalamannya. Fasilitator berperan sebatas memperkenalkan aspek teknis yang diperlukan serta mendorong dan merangsang kreativitas komunitas yang menjadi pelaku utama dalam produksi video.
Dengan memberikan kamera kepada komunitas yang secara sosial terpinggirkan—baik anak jalanan, petani, ibu-ibu kader pos Yandu—mereka dapat memediasikan dirinya sesuai dengan yang diinginkan ke dalam tayangan visual. Dengan demikian komunitas tersebut tidak hanya sebagai penerima pesan dari elit tertentu yang memiliki kekuasaan dan akses terhadap media tetapi juga dapat memroduksi pesan (producer of messages and image).
Pada tingkat ini secara langsung partisipan membuat suatu biografi tentang dirinya sendiri dalam bentuk media visual/video. Refleksi pengalaman yang dituangkan dalam bentuk video itu menjadi etnografi tentang dirinya dan menjadi bahan bagi orang lain untuk menemukan suatu pemahaman tertentu mengenai pengalaman hidupnya lewat pengalaman orang lain. Seperti yang terjadi pada saat dilakukan diskusi dan pemutaran video hasil worskhop komunitas anak jalanan di perempatan Condong Catur. Pemutaran itu dilakukan di dua tempat yaitu anak-anak buruh pabrik di Kudus dan anak-anak sekolah di salah satu SMA elit di Jakarta. Video yang diputar bercerita tentang bagaimana kehidupan keseharian anak jalanan yang bekerja sebagai pengamen di jalan dan mereka membangun hubungan dengan teman-teman sesama pengamen. Komentar menarik yang muncul dari kedua kelompok penonton itu adalah persoalan kemandirian. Anak-anak yang berlatar belakang dari keluarga buruh pabrik melihat bahwa anak-anak jalanan adalah anak-anak yang mandiri dan tidak menggantungkan hidup dari orang tua dan keluarga. Sedangkan komentar dari penonton yang berasal dari sekolah elit di Jakarta adalah soal bagaimana anak-anak tersebut bisa bebas merdeka dan bermain di di jalan. Mereka melihat hal itu sebagai hal yang menyenangkan.
Dari komentar-komentar tersebut anak-anak jalanan mampu menyampaikan etnografinya sendiri melalui media video. Mereka menentukan sendiri apa yang ingin ditampilkan dan ingin diceritakan pada orang lain. Video yang dihasilkan menjadi media untuk menyatakan perasaan, pikiran dan pandangan-pandangannya mengenai berbagai hal dalam hidupnya. Ini penting sekali bagi komunitas yang rawan terhadap tindakan diskriminatif secara sosial maupun institusional. Sehingga video yang dihasilkan dapat menjadi sarana pertukaran pengetahuan dan pengalaman yang efektif, menjembatani komunitas, Negara, bangsa, dan budaya yang berbeda. Pada tinggkat ini kamera berperan sebagai alat kekuasaan, tetapi bukan dalam kerangka memberikan alat kekuasaan untuk menguasai orang lain namun untuk dapat menyejajarkan mereka dengan orang lain sehingga dapat melakukan dialog dengan posisi setara.
Memberikan kamera untuk merekam apa yang ingin direkam dan menunjukkan apa yang akan ditunjukkan merupakan proses yang efektif untuk membangun identitas dan kepercayaan diri karena mereka dapat memiliki hasil berupa karya video. Selama proses ini berlangsung, terjadi juga suasana belajar mengorganisir kelompok sehingga menumbuhkan solidaritas kelompok yang semakin kuat. Kebersamaan akan terbangun dalam proses ini karena keputusan menentukan gambar yang akan diambil, sudut pengambilan serta dialog merupakan hasil keputusan kelompok yang sudah dibicarakan bersama. Di dalam proses ini terkandung aktivitas kolektif sehingga secara langsung menjadi sarana bagi peserta untuk berinteraksi secara aktif selama proses workshop berlangsung, saling mengungkapkan ide, mendengar dan menerima ide orang lain. Pada sisi lain, proses ini bukan semata-mata partisipasi peserta secara fisik dan artifisial karena mereka secara aktif terlibat dalam proses belajar dan kesempatan yang sama untuk mengartikulasikan dirinya.
Media video hasil workshop menjadi media yang dapat dipakai sebagai bahan dialog yang melebihi pertemuan tatap muka (face to face) karena dapat memfasilitasi dialog lintas batas ruang, waktu, geografis, bahasa, budaya, serta dapat menjadi media bagi yang tidak bersuara menjadi dapat bersuara (voicing the voieceless), dengan menjangkau golongan bawah yang tidak mungkin bertemu dangan para golongan atas penentu kebijakan. Melalui video yang dibuat sendiri, komunitas dapat bertutur tentang dirinya dan membuka peluang untuk mengkomunikasikan perspektif dan realitas mereka dalam lingkungan, tata wicara dan budi bahasa yang mereka sukai, orang lain dipaksa mendengarkan dan tidak bisa menginterupsi.
Pada sisi lain, sebagai sebuah proses dialog, umpan balik tidak dapat terjadi secara langsung dan proses gerakan sosial tentunya tidak akan terjadi bila video tersebut tidak diputar dan diperbincangkan dengan khalayak yang lebih luas.

Menggunakan Kamera secara Partisipatoris (Catatan dari Workshop dengan Anak-anak)
Mengawali program workshop kamera untuk rakyat bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana. Hegemoni media yang sudah kuat mengakar dan menempatkan khalayak sebagai sasaran pasar komoditi media telah menjadikan peserta workshop ragu bahwa mereka dapat melakukannya. Ketidakyakinan itu muncul karena alasan belum pernah melakukannya, dan tidak tahu bagaimana membuat video dan belum pernah memegang alat-alat pembuatan video khususnya kamera. Lha saben dinane mung nyekel kencrung kok saiki kon nyekel kamera, opo yo biso mas? (lha sehari-harinya saja cuma memegang kencrung, kok sekarang disuruh memegang kamera, apa ya bisa mas?, begitu kata salah seorang anak jalanan peserta workshop.
Kekhawatiran tersebut dapat dimengerti karena media visual (video) seakan memiliki standar teknis yang baku sehingga layak ditonton dan ditampilkan di depan khalayak. Padahal dalam semangat video komunitas hasil yang diharapkan bukanlah sebuah video yang sempurna secara teknis, namun menempatkan kamera (perangkat video) sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu.

Memegang kamera, menggunakannya untuk merekam sekelilingnya, kemudian melihat kembali hasil rekaman yang dibuat merupakaan saat yang memancing antusiasme anak-anak. Ketika anak-anak melakukan praktek menggunakan kamera, tampak mereka sangat aktif untuk merekam sekelilingnya. Anak-anak yang berada di depan kamera secara aktif merespon temannya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan temannya seperti sebuah acara reportase atau wawancara di televisi. Di depan kamera anak-anak menyerahkan dirinya untuk direkam kamera, namun bukan untuk menyerah menjadi obyek perekaman yang pasrah, mereka dapat menemukan sesuatu pada dirinya terutama saat melihat ulang bersama-sama hasil rekamannya. Saling mengomentari apa yang ada dalam rekaman menjadi bahan dialog diantara mereka dan menjelaskan tentang apa yang tampak dari hasil rekamannya. Situasi ini memungkinkan mereka dapat melakukan refleksi terhadap apa yang mereka lakukan dan dapat mengenali jati diri dan posisi dirinya.

Salah satu target audience video komunitas adalah komunitas itu sendiri, walaupun tidak menutup kemungkinan ditonton oleh khalayak yang lebih luas. Hasil kerja video komunitas lebih ditujukan untuk alat bercermin terutama oleh pembuatnya sendiri. Dengan melihat berbagai hal yang “biasa” ditemui dalam kehidupan sehari-hari melalui rekaman video, anggota komunitas menjadi penonton yang berjarak seperti orang lain yang menonton mereka. Pada posis ini video komunitas menjadi alat bercermin untuk semakin mengenali dirinya sendiri. Ibarat orang bercermin, akan dapat mengenali lekuk liku tubuh dan penampilannya ketika didepan cermin. Sehingga diharapkan mucul pemahaman terhadap diri sendiri secara lebih baik, bijak dan arif. Dari posisi ini diharapkan akan terlahir pemahaman dan kesadaran tentang berbagai persoalan hidup yang dihadapi sehingga dapat menuntun untuk bertindak sesuai dengan pilihan dan tujuan mereka sehingga terjadilah perubahan social.

Kesimpulan
Bagian yang penting dari program “Kamera Untuk Rakyat” adalah memberikan pilihan media yang dapat digunakan oleh suatu komunitas untuk membangun citra dirinya sesuai dengan apa yang diinginkannya, dapat mengartikulasikan pengalaman, sejarah dan politiknya dalam bentuk naratif visual dan auditif. Melalui pilihan visual, (angel, framing, efek auditif, etc) pemegang kamera dapat menegaskan atau memberikan kesaksian kepada orang lain. Pendek kata kamera menjadi alat untuk menyakinkan orang lain agar mematuhi kehendak orang lain untuk memahami kehendak (politiknya). Bagi orang yang tidak pernah “didengar suaranya” (the voiceless), sebaliknya juga dapat secara strategis digunakan untuk memediasikan dirinya sebagai bagian dari komunitas.



Disampaikan untuk diskusi “ Video Komunitas dan Dinamika Perubahan Masyarakat (Studi Gerakan Etnoreflika Yogyakarta) Jurusan Seni Media Rekam, Fakultas Seni Rupa dan Disain ISI Surakarta, 1 Juli 2009