live cycle

live cycle

Senin, 14 September 2009

Menari di Atas Data Sebuah Upaya Mencermati Karya Shiraishi


Gunawan
Pendahuluan
Tahun 1989 merupakan masa menjelang akhir dasawarsa kedua dan masuk dasawarsa ke tiga bagi berlangsungnya Orde baru bagi Indonesia. Orde baru merupakan kurun waktu perkembangan sejarah politik bagi bangsa Indonesia yang ditandai dengan peralihan tampuk kepemimpinan negara dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto. Orde Baru di bawah kepeminpinan Soeharto dipandang sebagai rezim yang penuh dengan represi serta sifat otoritarianisme penguasa/pemerintah terhadap warganya.. Keberadaan Soeharto sebagai presiden sangat mendominasi dalam tatanan pemerintahan sehingga kedudukan presiden menjadi segala-galanya dalam system politik di Indonesia. Kurang lebih dalam situasi negara seperti itulah Shiraishi datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian antropologi.

Senin, 07 September 2009

Tayangan Berita Kriminal di Televisi


“Ingat kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya tetapi juga karena ada kesempatan, wapasalah, waspadalah..!!!”
Begitulah kata-kata yang diucapkan Bang Napi seorang laki-laki berbadan besar mengenakan rompi kulit dan lengan bertato dan sebagian wajah ditutup topeng sehingga semakin menunjukkan kesannya yang sangar. Dengan seting dekorasi seperti seorang penjahat di dalam bui, Bang Napi selalu muncul dibagian akhir acara berita kriminal “Sergap” yang ditayangkan RCTI setiap siang hari.

Antara Melihat foto dan Mengeja kata: Aspek Visual dalam Media Massa

Media massa cetak saat ini sangatlah beragam dan berkembang pesat dengan berbagai bentuk seiring dengan perkembangan teknologi. Sejak mesin cetak ditemukan pada tahun 1480an, persebaran informasi dalam bentuk media cetak telah memberikan andil yang cukup besar dalam perubahan kebudayaan manusia. Sebagai salah satu bentuk media penyampaian informasi atau berita, media cetak memiliki varian bentuk yang beraneka rupa, dengan banyak sebutan misalnya koran, bulletin, tabloid, dan majalah yang kesemuanya itu tidak terlepas dari persoalan industri dan kapitalisme cetak. Tidak hanya dalam bentuk cetak saja, belakangan ini media informasi elektronik yang bersifat auditif seperti radio, dan media audio visual sepertti televisi juga turut berkembang seiring dengan kemajuan teknologi dan kapital.
Apa yang dicari orang dengan mengakses media massa? Hal yang lazim dicari orang lewat media massa adalah berita. Media massa seringkali menjadi jawaban atau penjelasan atas keingintahuan orang terhadap suatu peristiwa yang telah terjadi. Dan media massa pun berupaya untuk menyajikan informasi yang akurat tentang suatu peistiwa yang sudah terjadi. Apa yang diberitakan juga bergam, mulai dari media yang khusus menyampaikan tentang politik, ekonomi, gaya hidup, kriminal, hobby atau profesi tertentu, hingga “berita” gosip kaum slebritis.
Dengan mengkhususkan permasalahan pada media massa cetak—khususnya koran, tulisan ini akan membahas tentang keberadaan teks naratif dan foto sebagai unsur berita dalam media cetak. Ketika melihat halaman pertama sebuah koran tanpa disadari pandangan kita akan tertuju pada foto yang terpampang dengan ukuran besar di halaman itu. Kemudian perhatian pembaca baru bergerak ke arah tulisan yang menjadi headline berita atau teks naratif yang berupa caption yang biasanya diletakkan di bawah foto. Bagaimana relasi kedua unsur tersebut hadir bersama-sama dalam satu bentuk media? Mengapa media cetak melengkapi sajian berita dengan foto dalam teks naratif yang disampaikannya?
Wilayah media cetak terus berkembang dan menjadi suatu wilayah yang juga disebut dengan dunia jurnalistik. Dalam dunia jurnalistik dewasa ini unsur visual menjadi bagian penting untuk ditampilkan. Di halaman pertama sebuah koran selalu terdapat foto sebagai bagian dari headline berita. Layout koran dengan memasang foto dalam ukuran besar di halaman pertama menjadi sangat dominan sehingga akan dengan mudah menarik perhatian mata untuk melihatnya. Munculnya unsur foto dalam koran merupakan suatu bentuk perubahan pandangan orang terhadap media ini. Pada awal perkembangan koran kehadiran gambar/foto merupakan sesuatu yang haram. Awalnya koran hanya berisi tulisan saja dan ada anggapan bahwa koran yang menampilkan foto/gambar dalam terbitannya merupakan koran kelas murahan yang dikonsumsi oleh kalangan bawah yang tidak berpendidikan dan buta huruf. Pandangan ini didasari oleh anggapan bahwa membaca tulisan merupakan kemampuan yang lebih berpendidikan dan intelek dibandingkan melihat gambar. Namun situasi kemudian berubah, pada tahun 1880-an teknologi fotografi mampu mereproduksi fotografi di atas kertas koran, sejak itu pula wajah koran mulai berubah. Koran yang menampilkan foto pertama kali terbit di Amerika, dan kemunculannya ditentang oleh penerbit lain kerena dianggap melecehkan pembaca sebagai orang yang buta huruf. Baru pada sekitar abad ke-19/1890an potensi fotografi di media massa mulai berkembang. Konsep majalah bergambar muncul di Jerman. Hingga kini unsur foto/gambar menjadi bagian penting dalam sebuah koran. Hampir seluruh media cetak memasukkan unsur foto dalam terbitan-terbitannya. Tentunya hal ini merupakan perubahan yang sangat drastis dari kondisi awal perkembangan media cetak, dan sangat berkaitan dengan sikap dan cara pendang orang terhadap gambar/foto. Koran berita tanpa disertai foto terasa hambar dan kurang lengkap dalam menyampaiakn suatu peristiwa. Mengapa bisa menjadi demikian? Bukankah tulisan dan foto merupakan dua bentuk narasi yang bebeda nalar?
Peran foto dalam dunia jurnalistik tentunya tidaklah muncul dengan tiba-tiba, hal ini didasari oleh suatu pandangan yang menilai foto sebagai bentuk dari rekaman realitas. Unsur foto dalam terbitan koran merupakan bagian untuk memperkuat bahwa apa yang diberitakan adalah peristiwa yang benar adanya sehingga foto ditempatkan sebagai alat pembuktian. Aspek being there merupakan bagian yang ingin dicapai untuk memperkuat bahwa berita/peristiwa yang disampaikan benar-benar terjadi. Sejak ditemukannyan teknologi fotografi, ada anggapan bahwa foto merupakan bentuk rekaman realitas. Proses munculnya citra gambar/visual dalam foto merupakan proses alami sehingga merekam seperti apa adanya. Hingga saat ini, foto dianggap mampu menghadirkan fakta seperti kenyataanya, sehingga foto dianggap tidak berbohong, karena mampu merekam realitas secara persis sama dengan aslinya. Munculnya pandangan ini sangat didukung oleh perkembangan cara pandang positivistik yang sangat kuat pada masa awal perkembangan fotografi. Ditemukannya fotografi menjadi jawaban atas pemikiran positivistik yang menekankan hal empirik untuk menjelaskan suatu fenomena. Semangat inilah yang mendasari mengapa foto menjadi unsur yang sangat penting dalam sebuah koran atau media cetak lainnya.
Dalam kaitannya dengan hal ini, Siegel menemukan hal menarik dalam pengamatannya tentang sebuah surat kabar kriminal yang terbit di Jakarta “Pos Kota” Dalam koran tersebut selalu ditampilkan foto-foto pelaku tindak kejahatan tetapi pada bagian mata diberi garis hitam oleh redaksi. Tujuan pemberian garis hitam pada mata tersebut adalah untuk menyembunyikan identitas pelaku serta tidak membuat keluarga pelaku menjadi malu jika foto yang terpasang di koran dikenali oleh orang-orang di sekitarnya. Berdasarkan hal ini sebetulnya terjadi paradoks, bahwa pada satu sisi menjadi bukti bahwa pelakunya adalah yang fotonya ada di dalam koran sedangkan pada sisi lain ada upaya untuk mengaburkan identitas orang yang difoto. Padahal dengan foto yang dikaburkan tersebt sebenarnya orang yang ingin mengetahui identitas yang bersangkutan masih bisa mendapatkannya melalui alamat yang termuat dalam berita itu.

Foto, Tulisan, dan Realitas
Tanggal 09-18 Januari 2005 lalu di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta diselenggarakan sebuah pameran kelas dunia Word Press Photo 2004. Sesuai judul pameran, kegiatan tersebut menampilkan foto-foto terpilih hasil jepretan fotografer dari berbagai peristiwa di penjuru dunia untuk diberitakan lewat media massa.
Word press photo merupakan event tingkat dunia untuk memberikan penghargaan kepada para fotografer jurnalistik yang berhasil membuat foto “hebat”. Memasuki ruangan pameran itu, dengan segera mata akan diajak untuk menangkap foto-foto dari peristiwa perang yang terjadi di Irak. Hampir setengah dari ruang itu terpampang foto perang yang terjadi di Irak, Palestina, Vietnam dan Indoneia. Foto-foto itu menggambarkan kesedihan dan kesengsaraan yang menempatkan manusia sebagai korbannya. Berdasarkan lokalitas peristiwanya adalah peristiwa yang terjadi di Asia, Afrika dan Timur Tengah. Pada ruangan bagian lain terpampang foto-foto yang menggambarkan kehidupan sehari-hari tanpa peperangan, seperti foto olahraga, foto perayaan kaum muda pemuja rock’n roll di Inggris, dan foto presiden Bush yang sedang mengintip istrinya menyiapkan sarapan. Secara lokalitas foto-foto ini diambil dari peristiwa yang terjadi di Eropa dan Amerika. Foto yang mendapat penghargaan dalam event tersebut adalah foto seorang laki-laki di balik pagar kawat berduri di kamp tawanan perang Irak dengan kepala ditutup karung hitam sedang duduk di tanah memeluk anaknya. Di bawah foto itu terpampang tulisan/caption dengan isi sebagai berikut:
Seorang pria Irak sedang menenangkan anaknya yang masih berumur 4 tahun di kamp tawanan perang di wilayah basis tentara AS divisi AU 101 dekat An Naajf, Irak selatan, tanggal 31 Maret. Anak kecil itu ketakutan karena, sesuai dengan aturan, ayahnya harus diborgol dan kepalanya dikerudungi. Seorang tentara AS kemudian melepaskan borgolnya sehingga pria ini bisa memeluk anaknya dan menenangkannya. Kerudung yang menyerupai kantong iru dipilih untuk membuat tawanan kehilangan orientasi ruang dan arah, serta untuk melindungi identitasnya. Tidak diketahui lebih lanjut apa yang terjadi dengan ayah dan anak tersebut.


Repro Katalog pameran

Ellisabeth Biondi sebagai ketua dewan juri memberikan alasan mengapa foto tersebut menjadi foto terpilih, sebagai berikut:
Foto tersebut menunjukkan sebuah kebenaran tentang perang: bahwasanya perang berdampak mengerikan pada kehidupan apapun alasan pemicunya. Foto ini sangat kuat, sebuah penegasan atas ungkapan emosi yang universal, yaitu kasih seorang ayah kepada anaknya dan dorongan untuk melindungi anaknya…maka kami memilih foto perang dengan pesan kasih sayang.

Ada beberapa hal yang mengganggu pikiran saya saat melihat foto-foto yang terpampang di ruangan itu, yang pertama ada persoalan pencitraan sebuah bangsa yang terjadi dalam foto yang disajikan. Mengapa foto-foto dari wilayah Asia, Afrika dan Timur Tadalah foto-foto yang menggambarkan peperangan dan seabrek tragedi kemanusian yang terjadi. Sementara foto yang menggambarkan hal-hal yang “indah-indah” adalah foto dari peristiwa yang terjadi di wilayah Eropa dan Amerika. Walaupun terjadi perang bukankah masih ada peristiwa yang jauh dari situasi mencekam pada saat yang bersamaan? Saya berpendapat bahwa hal itu sangat dipengaruhi oleh cara pandang kolonialis, yang secara halus namun terus terang menunjukkan betapa bodoh dan dungunya orang-orang Asia dan Afrika. Perang telah menimbulkan berbagai kesengsaraan namun hingga kini masih saja mereka lakukan.




Antara melihat foto dan membaca tulisan
“Mampukah satu gambar menyampaikan seribu kata?”.

Hal lain yang mengganggu pikiran saya terjadi saat mengamati orang-orang yang mengunjungi pameran itu. Para penonton melihat foto demi foto kemudian membaca teks naratif yang ada di bawahnya. Melihat perilaku yang demikian itu, menunjukkan bahwa rupanya foto tidak cukup memberikan jawaban atas apa yang ingin dicari oleh orang yang melihat. Dan penonton menempatkan diri sebagai orang yang tertawan oleh teks yang ada di bawah sebuah foto.
Dari dua hal di atas menggiring kita untuk mempertanyakan kembali apakah sebuah foto masih bisa dianggap sebagai media yang mampu menyampaikan fakta sesuai dengan relaitasnya? Zaman telah berubah dan cara pandang orang terhadap foto juga berubah, kemajuan teknologi hingga ditemukannya teknologi digital telah meruntuhkan pemikiran bahwa “foto adalah rekaman realitas” yang tidak dapat berbohong. Dewasa ini melalui manipulasi dengan komputer, bisa dihasilkan foto tanpa perlu ada realitas faktualnya. Seberapa pun kemiripan antara foto dengan peristiwanya tentunya tidak bisa dikatakan bahwa foto sebagai aslinya. Bagaimanapun juga ada jarak yang sangat jauh antara foto dengan yang difoto karena sebuah foto mobil tidak akan persis sama dengan mobilnya. Artinya ada distorsi realitas dalam fotografi.
Pada kenyataannya Foto tidak pernah lengkap. Foto hanya bisa merekam dalam batas lingkar kamera yang tersedia. Anggapan bahwa foto mampu menyajikan seribu kata justru menunjukkan bahwa foto miskin informasi dan tidak mengatakan apa-apa. Foto justru berbicara tentang elemen-elemen atau peristiwa di luar rekaman gambar ketimbang apa yang tercantum di dalam gambar. Peristiwa sebelum dan sesudah tombol kamera ditekan kadang menjadi bagian yang tidak kalah penting dari pada apa yang terekam di dalam foto. Kutipan caption foto di atas menunjukkan hal ini. Foto tidak mampu menunjukkan nasib sebelum maupun sesudah peristiwa itu direkam dalam foto.
Menarik untuk melihat beberapa komentar pengunjung pameran Word Press Photo yang dituliskan dalam buku kesan dan pesan. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Cuplikan realitas hidup yang hadir lebih banyak yang mengetirkan lebih asik kalo dibandingkan dengan “image” yang menggambarkan kehidupan gaya hedonis, kapitalis, globalisai. Menyiratkan kesenangan

Foto-foto yang ditampilkan adalah foto press kelas dunia. Yang penting di sini bukan hadiah ataupun indahnya foto. Tapi bagaimana foto ini bisa mewakili serta mengungkapkan realitas yang ada….

Ketika berbicara mengenai realitas di dalam foto khususnya foto yang masuk dalam dalam kategori foto berita seperti yang dipamerkan dalam word press photo tersebut tentunya kita harus berhati-hati. Walter Benjamin dalam artikelnya the Work of Art in The Age of Mechanical Reproduction mengemukakan bahwa perkembangan teknologi reproduksi, khususnya fotografi, telah memungkinkan untuk menyalin/mencetak realitas ke dalam bentuk visual sangat mirip dengan aslinya daripada citra gambar lukisan yang dikerjakan tangan. Dari proses terciptanya image visual memang sangat berlainan antara foto dengan gambar atau lukisan. Jauh sebelum dikembangkannya tehnologi digital, foto tercipta dari proses alami optikal dan reaksi kimiawi, sangat berbeda dengan gambar/lukisan yang sangat dipengaruhi intervensi dan interpretasi tangan manusia dalam proses menyalin realitas. Sehingga foto menjadi “mesin” yang dapat menyalin realitas. Hadirnya foto dalam koran maupun foto-foto yang dipamerkan tidak lagi hanya sekedar sebagai copy dari realitas dan bukti akan keberadaan suatu realitas. Kutipan komentar Elisabet Biondi di atas merupakan indikasi bahwa sesungguhnya foto itu telah menjadi realitas lain yang berdiri sendiri bahkan bisa tidak berhubungan dengan peristiwanya, sehingga salinan telah melebur dengan aslinya.
Di tengah situasi yang serba hiper seperti sekarang ini rupanya orang masih percaya pada realitas. Padahal foto bukan medium yang otomatis. Karena ia tak memberi jawaban yang persis, dan tidak pernah lengkap, tidak persis dengan kenyataan, dan karena berbicara tentang sesuatu yang di luar gambar maka sebetulnya foto membutuhkan partisipasi pembacanya. Membaca foto membutuhkan imajinasi yang aktif dan keberanian menafsirkan pesan-pesannya. Kenyataan ini yang tidak mudah dilakukan. Bayangan bahwa “satu foto berbicara seribu kata” membuat orang salah bersikap –seolah-olah dengan melihat foto otomatis akan memperoleh seribu informasi atau fakta. Padahal setiap medium bahasa baik dalam bentuk visual seperti foto maupun tulisan, adalah kode yang harus dibaca dengan cara mendekodekannya kembali. Koran adalah kode-kode dan kita harus mendekodekannya kembali tanpa harus menjadi seseorang yang merelakan diri untuk menjadi pembaca yang tertawan.

Kamis, 06 Agustus 2009

Berbagi Kuasa Lewat Kamera

Gunawan

Pengantar
Saat ini media visual telah menjadi bagian yang sangat dekat dengan hidup kita sehari-hari. Setiap waktu mata kita dapat dengan mudah menangkap cira visual dalam ruang-ruang keseharian dalam berbagai bentuknya baik citra visual yang dihadirkan oleh institusi yang terorganisir maupun pribadi yang mandiri. Kondisi ini terjadi salah satunya akibat perkembangan teknologi dalam memroduksi citra visual baik dalam bentuk video ataupun foto. Peralatan produksi adiuovisual yang semakin praktis dan sederhana dalam pengoperasiannya memungkinkan setiap orang dapat menggunakannya untuk berbagai kepentingan. Namun kemudahan dalam memroduksi citra visual umumnya masih sebatas untuk memenuhi hasrat kesenangan individu atau sekedar menjadi bagian dari gaya hidup, belum banyak dimanfaatkan secara kreatif dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
Media visual khususnya video memiliki daya bujuk-rayu (persuasion) yang sangat hebat bagi pemirsanya karena kemampuannya dalam menirukan dan memindahkan berbagai peristiwa ke dalam citra visual hingga nyaris seperti aslinya. Kemampuan media visual dalam bujuk rayu tersebut telah menjadi bagian alat propaganda massa untuk mempengaruhi tindakan, sikap, dan pola pikir sesuai dengan yang diinginkan oleh pembuat citra, yang saat ini berada di tangan pemilik modal baik berupa financial maupun kuasa. Akibatnya seringkali citra visual yang ditampilkan menjadi kontraproduktif bagi pembelajaran masyarakat. Masyarakat hanyalah menjadi sasaran pasar potensial dari berbagai kepentingan para pembuat, pengelola, dan pemilik, atau penguasa media.

Video Komunitas: Pergulatan dalam Bermedia
Di tengah keberadaan media yang semakin hegemonik, muncullah upaya-upaya kritis dan kreatif berbagai pihak, (khususnya NGO) untuk memberikan akses kepada masyarakat lapis terbawah/komunitas tertentu untuk mempergunakan media audiovisual sebagai upaya dalam mendorong terjadinya perubahan sosial. Secara sederhana perubahan sosial dipahami sebagai aksi kolektif yang terorganisir untuk mendorong lahirnya kehidupan masyarakat yang lebih baik. adil, dan sejahtera. Sehingga masyarakat tidak hanya terjerat dalam media yang dikuasai oleh segelintir elit namun mereka dapat memediasikan dirinya sesuai dengan cara pandang mereka sendiri terhadap berbagai hal dalam kehidupan sehari-harinya. Semangat itulah yang mendorong munculnya bebagai bentuk media komunitas satunya dalam bentuk video komunitas.
Pada tahun 2001 Etnoreflika memulai suatu program workshop video dengan komunitas anak jalanan perempuan di Yogyakarta yang menghasilkan sebuah video berjudul “Bunga Trotoar”. Video tersebut merupakan refleksi dari peristiwa yang dialami kehidupan anak jalanan perempuan di Yogyakarta yang bercerita tentang bagaimana anak-anak tersebut mempertahankan diri hidup di jalan dengan segala stigma sosial yang melekat sebagai anak jalanan perempuan. Workshop tersebut merupakan workshop pertama Etnoreflika dalam program “Kamera Untuk Rakyat”.
Dalam program tersebut anak-anak jalanan perempuan bersama-sama dengan para fasilitator dari Etnoreflika mengadakan workshop untuk memroduksi sebuah video. Sejak proses eksplorasi tema, menyusun cerita, berlatih menggunakan alat perekam (kamera) pengambilan gambar hingga proses editing dilakukan oleh anak-anak jalanan perempuan. Singkat kata, seluruh proses pembuatan video dikerjakan oleh komunitas itu.
Program serupa juga dilakukan dengan komunitas yang berbeda-beda, di antaranya adalah adalah komunitas anak jalanan dan pengamen; komunitas anak-anak perempuan pengamen di stasiun kereta api Lempuyangan; kader petani rehabilitasi hutan; anak-anak desa di pinggiran Yogyakarta, ibu-ibu kader Pos Yandu; anak-anak remaja di pinggiran sungai Code.
Dalam program workshop yang diselenggarakan oleh Etnoreflika ini, para peserta diberi ruang untuk menyampaikan pengalaman dan cara pandang dirinya terhadap suatu persoalan, yang diwujudkan melalui cerita yang kemudian dikembangkan menjadi alur cerita. Peserta bersama-sama melakukan eksplorasi cerita, menyusun adegan, merekam gambar, dan berperan sebagai aktor untuk dirinya sendiri. Jadi secara keseluruhan mereka terlibat secara aktif dalam proses pembuatan video. Selama proses workshop peserta berdiskusi untuk menemukan kesepakatan bersama mengenai persoalan yang akan menjadi tema dalam cerita video. Selain itu perserta berlatih mengenai cara mengembangkan tema tersebut, mentransformasikan ke dalam bentuk gambar, dan merekamnya dengan menggunakan kamera. Pada tahap akhir peserta workshop bersama-sama melakukan editing, melihat gambar-gambar hasil rekaman, menyeleksi dan memilih gambar yang sesuai dengan yang diinginkan kemudian menyusunnya ke dalam suatu logika dan sudut pandang tertentu.
Selama proses ini peserta workshop merupakan peserta yang aktif dan secara partisipatoris terlibat dalam kegiatan. Partisipatori bukan hanya keterlibatan secara fisik tetapi juga memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk menunjukkan eksistensinya. Dalam melakukan eksplorasi cerita, setiap orang didorong untuk mengungkapkan pengalaman, pendapat dan cara pandang dirinya terhadap peristiwa yang pernah dialaminya. Proses ini menjadi proses belajar untuk berbagi pengalaman, berani berbicara di dalam komunitasnya, mendengarkan orang lain, mengapresiasi, dan saling memberikan komentar, melihat perbedaan serta belajar menerima pendapat orang lain.
Dalam workshop ini peserta workshop diberi ruang seluas mungkin untuk menyampaikan gagasan mengenai cerita yang akan dibuat, ide yang muncul berasal dari peristiwa yang pernah dialami. Proses ini berlanjut pada proses produksi dengan memberikan kamera kepada peserta sehingga mereka dapat menentukan sendiri apa yang akan direkam, dari mana dan seperti apa adegan yang akan direkam. Keterlibatan peserta dalam proses pasca produksi juga menjadi bagian yang penting. Melihat hasil rekaman, menyeleksi gambar/adegan yang dipilih, kemudian mengurutkannya ke dalam suatu alur tertentu membuat anak-anak menemukan sesuatu dari apa yang dia lihat dari hasil rekaman kamera. Pada proses ini anak-anak diajak kembali memikirkan, belajar menganalisis suatu persoalan sehingga menemukan kesadaran-kesadaran baru dari pengalamannya. Fasilitator berperan sebatas memperkenalkan aspek teknis yang diperlukan serta mendorong dan merangsang kreativitas komunitas yang menjadi pelaku utama dalam produksi video.
Dengan memberikan kamera kepada komunitas yang secara sosial terpinggirkan—baik anak jalanan, petani, ibu-ibu kader pos Yandu—mereka dapat memediasikan dirinya sesuai dengan yang diinginkan ke dalam tayangan visual. Dengan demikian komunitas tersebut tidak hanya sebagai penerima pesan dari elit tertentu yang memiliki kekuasaan dan akses terhadap media tetapi juga dapat memroduksi pesan (producer of messages and image).
Pada tingkat ini secara langsung partisipan membuat suatu biografi tentang dirinya sendiri dalam bentuk media visual/video. Refleksi pengalaman yang dituangkan dalam bentuk video itu menjadi etnografi tentang dirinya dan menjadi bahan bagi orang lain untuk menemukan suatu pemahaman tertentu mengenai pengalaman hidupnya lewat pengalaman orang lain. Seperti yang terjadi pada saat dilakukan diskusi dan pemutaran video hasil worskhop komunitas anak jalanan di perempatan Condong Catur. Pemutaran itu dilakukan di dua tempat yaitu anak-anak buruh pabrik di Kudus dan anak-anak sekolah di salah satu SMA elit di Jakarta. Video yang diputar bercerita tentang bagaimana kehidupan keseharian anak jalanan yang bekerja sebagai pengamen di jalan dan mereka membangun hubungan dengan teman-teman sesama pengamen. Komentar menarik yang muncul dari kedua kelompok penonton itu adalah persoalan kemandirian. Anak-anak yang berlatar belakang dari keluarga buruh pabrik melihat bahwa anak-anak jalanan adalah anak-anak yang mandiri dan tidak menggantungkan hidup dari orang tua dan keluarga. Sedangkan komentar dari penonton yang berasal dari sekolah elit di Jakarta adalah soal bagaimana anak-anak tersebut bisa bebas merdeka dan bermain di di jalan. Mereka melihat hal itu sebagai hal yang menyenangkan.
Dari komentar-komentar tersebut anak-anak jalanan mampu menyampaikan etnografinya sendiri melalui media video. Mereka menentukan sendiri apa yang ingin ditampilkan dan ingin diceritakan pada orang lain. Video yang dihasilkan menjadi media untuk menyatakan perasaan, pikiran dan pandangan-pandangannya mengenai berbagai hal dalam hidupnya. Ini penting sekali bagi komunitas yang rawan terhadap tindakan diskriminatif secara sosial maupun institusional. Sehingga video yang dihasilkan dapat menjadi sarana pertukaran pengetahuan dan pengalaman yang efektif, menjembatani komunitas, Negara, bangsa, dan budaya yang berbeda. Pada tinggkat ini kamera berperan sebagai alat kekuasaan, tetapi bukan dalam kerangka memberikan alat kekuasaan untuk menguasai orang lain namun untuk dapat menyejajarkan mereka dengan orang lain sehingga dapat melakukan dialog dengan posisi setara.
Memberikan kamera untuk merekam apa yang ingin direkam dan menunjukkan apa yang akan ditunjukkan merupakan proses yang efektif untuk membangun identitas dan kepercayaan diri karena mereka dapat memiliki hasil berupa karya video. Selama proses ini berlangsung, terjadi juga suasana belajar mengorganisir kelompok sehingga menumbuhkan solidaritas kelompok yang semakin kuat. Kebersamaan akan terbangun dalam proses ini karena keputusan menentukan gambar yang akan diambil, sudut pengambilan serta dialog merupakan hasil keputusan kelompok yang sudah dibicarakan bersama. Di dalam proses ini terkandung aktivitas kolektif sehingga secara langsung menjadi sarana bagi peserta untuk berinteraksi secara aktif selama proses workshop berlangsung, saling mengungkapkan ide, mendengar dan menerima ide orang lain. Pada sisi lain, proses ini bukan semata-mata partisipasi peserta secara fisik dan artifisial karena mereka secara aktif terlibat dalam proses belajar dan kesempatan yang sama untuk mengartikulasikan dirinya.
Media video hasil workshop menjadi media yang dapat dipakai sebagai bahan dialog yang melebihi pertemuan tatap muka (face to face) karena dapat memfasilitasi dialog lintas batas ruang, waktu, geografis, bahasa, budaya, serta dapat menjadi media bagi yang tidak bersuara menjadi dapat bersuara (voicing the voieceless), dengan menjangkau golongan bawah yang tidak mungkin bertemu dangan para golongan atas penentu kebijakan. Melalui video yang dibuat sendiri, komunitas dapat bertutur tentang dirinya dan membuka peluang untuk mengkomunikasikan perspektif dan realitas mereka dalam lingkungan, tata wicara dan budi bahasa yang mereka sukai, orang lain dipaksa mendengarkan dan tidak bisa menginterupsi.
Pada sisi lain, sebagai sebuah proses dialog, umpan balik tidak dapat terjadi secara langsung dan proses gerakan sosial tentunya tidak akan terjadi bila video tersebut tidak diputar dan diperbincangkan dengan khalayak yang lebih luas.

Menggunakan Kamera secara Partisipatoris (Catatan dari Workshop dengan Anak-anak)
Mengawali program workshop kamera untuk rakyat bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana. Hegemoni media yang sudah kuat mengakar dan menempatkan khalayak sebagai sasaran pasar komoditi media telah menjadikan peserta workshop ragu bahwa mereka dapat melakukannya. Ketidakyakinan itu muncul karena alasan belum pernah melakukannya, dan tidak tahu bagaimana membuat video dan belum pernah memegang alat-alat pembuatan video khususnya kamera. Lha saben dinane mung nyekel kencrung kok saiki kon nyekel kamera, opo yo biso mas? (lha sehari-harinya saja cuma memegang kencrung, kok sekarang disuruh memegang kamera, apa ya bisa mas?, begitu kata salah seorang anak jalanan peserta workshop.
Kekhawatiran tersebut dapat dimengerti karena media visual (video) seakan memiliki standar teknis yang baku sehingga layak ditonton dan ditampilkan di depan khalayak. Padahal dalam semangat video komunitas hasil yang diharapkan bukanlah sebuah video yang sempurna secara teknis, namun menempatkan kamera (perangkat video) sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu.

Memegang kamera, menggunakannya untuk merekam sekelilingnya, kemudian melihat kembali hasil rekaman yang dibuat merupakaan saat yang memancing antusiasme anak-anak. Ketika anak-anak melakukan praktek menggunakan kamera, tampak mereka sangat aktif untuk merekam sekelilingnya. Anak-anak yang berada di depan kamera secara aktif merespon temannya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan temannya seperti sebuah acara reportase atau wawancara di televisi. Di depan kamera anak-anak menyerahkan dirinya untuk direkam kamera, namun bukan untuk menyerah menjadi obyek perekaman yang pasrah, mereka dapat menemukan sesuatu pada dirinya terutama saat melihat ulang bersama-sama hasil rekamannya. Saling mengomentari apa yang ada dalam rekaman menjadi bahan dialog diantara mereka dan menjelaskan tentang apa yang tampak dari hasil rekamannya. Situasi ini memungkinkan mereka dapat melakukan refleksi terhadap apa yang mereka lakukan dan dapat mengenali jati diri dan posisi dirinya.

Salah satu target audience video komunitas adalah komunitas itu sendiri, walaupun tidak menutup kemungkinan ditonton oleh khalayak yang lebih luas. Hasil kerja video komunitas lebih ditujukan untuk alat bercermin terutama oleh pembuatnya sendiri. Dengan melihat berbagai hal yang “biasa” ditemui dalam kehidupan sehari-hari melalui rekaman video, anggota komunitas menjadi penonton yang berjarak seperti orang lain yang menonton mereka. Pada posis ini video komunitas menjadi alat bercermin untuk semakin mengenali dirinya sendiri. Ibarat orang bercermin, akan dapat mengenali lekuk liku tubuh dan penampilannya ketika didepan cermin. Sehingga diharapkan mucul pemahaman terhadap diri sendiri secara lebih baik, bijak dan arif. Dari posisi ini diharapkan akan terlahir pemahaman dan kesadaran tentang berbagai persoalan hidup yang dihadapi sehingga dapat menuntun untuk bertindak sesuai dengan pilihan dan tujuan mereka sehingga terjadilah perubahan social.

Kesimpulan
Bagian yang penting dari program “Kamera Untuk Rakyat” adalah memberikan pilihan media yang dapat digunakan oleh suatu komunitas untuk membangun citra dirinya sesuai dengan apa yang diinginkannya, dapat mengartikulasikan pengalaman, sejarah dan politiknya dalam bentuk naratif visual dan auditif. Melalui pilihan visual, (angel, framing, efek auditif, etc) pemegang kamera dapat menegaskan atau memberikan kesaksian kepada orang lain. Pendek kata kamera menjadi alat untuk menyakinkan orang lain agar mematuhi kehendak orang lain untuk memahami kehendak (politiknya). Bagi orang yang tidak pernah “didengar suaranya” (the voiceless), sebaliknya juga dapat secara strategis digunakan untuk memediasikan dirinya sebagai bagian dari komunitas.



Disampaikan untuk diskusi “ Video Komunitas dan Dinamika Perubahan Masyarakat (Studi Gerakan Etnoreflika Yogyakarta) Jurusan Seni Media Rekam, Fakultas Seni Rupa dan Disain ISI Surakarta, 1 Juli 2009