live cycle

live cycle

Jumat, 17 Juni 2011

KOIN

Ting…ting…ting….ting…terdengar suara mangkok yang dipukul berulang-ulang oleh seorang penjual bubur keliling  yang melintas di depan rumah. Suara itu telah mencuri perhatian anakku yang sedang asyik menonton film kartun di pagi itu. Tukang bubur itu memang tukang bubur langganan anakku yang lewat setiap hari lewat depan rumah. Setiap kali mendengar suara itu, anakku langsung berlari menghampiri dan memanggil  si penjual bubur.  Aku kemudian mengikutinya sambil membawa mangkok untuk tempat bubur. Suatu hari setelah selesai dilayani aku sodorkan lembaran kertas limaribuan untuk membayar bubur. Beberapa saat kemudian penjual bubur itu memberi uang kembalian sambil berkata, “pangapunten mas, susukke receh, niki wonten sing kertas ning elek”. (maaf kembaliannya receh, ini ada yang kertas tapi jelek). Penjual itu memberikan lima keping koin kepadaku.  Sayapun kemudian menerima koin itu lalu memasukkannya ke dalam saku celanaku.           
Bagi masyarakat kita uang logam, atau yang sering disebut koin secara kultural memang memiliki nilai yang berbeda dengan uang kertas.  Meskipun nominal dan nilai tukarnya sama, koin dianggap lebih rendah derajadnya daripada uang kertas. Setidaknya seperti yang terjadi pada si penjual bubur itu. Ia merasa bersalah sehingga harus meminta maaf ketika memberikan koin untuk kembalian.  Kebanyakan orang merasa tidak nyaman ketika harus bertransaksi dengan menggunakan uang koin. Orang merasa lebih nyaman membayar di toko dengan lima lembar uang kertas seribuan daripada lima keping koin seribuan meskipun nilai tukarnya sama.  Uang koin hanya dianggap sebagai uang recehan, nominalnya kecil, sehingga tidak pantas dan tidak sopan jika digunakan  untuk bertransaksi dalam jumlah banyak. Menggunakan koin untuk bertransaksi dapat dianggap tidak menghormati orang yang menerimanya sekaligus dapat merendahkan harga diri orang yang memberikannya.  Anda tentunya akan tersenyum sinis ketika melihat orang di depan antrian anda membayar belanjaanya ke kasir sejumlah duapuluh ribu rupiah dengan koin. Dan anda pun tentunya tidak akan mau mendapatkan senyum sinis itu sehingga akan pikir-pikir dulu untuk membayar senilai duapuluhribu rupiah kepada kasir.    
Dapat dimengerti mengapa koin lebih tidak disukai dibandingkan dengan uang kertas. Bahannya yang dari logam akan berat dan memakan tempat di saku jika membawanya dalam jumlah banyak. Bentuknya yang bundar akan dengan mudah menggelinding dan hilang jika jatuh. Sungguh sangat berkebalikan dengan uang kertas yang lebih ringkas disimpan dan ringan dibawa.  Koin hanya dianggap sebagai uang receh, nominalnya kecil. Jarang sekali ada orang yang membawa koin dalam jumlah banyak.
Selain sebagai alat tukar orang Jawa menggunakan koin untuk keperluan lain. yang paling lazim adalah untuk kerokan saat masuk angin. Salah satu penyakit yang dikategorikan sebagai penyakitnya orang kelas rendah alias melarat. Koin kadang juga dapat ditemukan sebagai pelengkap uborampe sesajen yang diletakkan di perempatan atau sudut-sudut rumah saat ada hajatan. Koin juga digunakan untuk sawur, dicampur dengan beras kuning kemudian ditaburkan sepanjang jalan menuju ke makam dalam prosesi pemakaman jenasah. Mungkin karena penggunaan koin yang tampak remeh temeh itulah yang menjadikan nilai koin secara sosial rendah. Saya masih ingat ketika kecil dulu jika melihat ada yang mengantongi koin dalam jumlah banyak bahkan sampai berbunyi maka akan diolok-olok dengan mengatakan  uang hasil mengumpulkan sawur kok dipamerkan-pamerkan.
            Pada suatu ketika ketika sedang antri di kasir sebuah supermarket mata saya tertuju pada sebuah tulisan yang berada di depan kasir “ Gerakan Peduli Koin Nasional” Kami Melayani Penukaran Uang Koin. Terimakasih. Saya merasa aneh dengan tulisan itu. Satahu saya dan yang sering saya alami kasir di supermarket seringkali kehabisan koin untuk kembalian sehingga hitungan harga dibulatkan agar mudah memberikan kembalian. Bahkan ada juga yang menggantinya dengan permen. Oleh karena itu saya lebih suka menggunakan kartu debit untuk membayar karena bisa membayar sesuai dengan yang harus saya bayarkan.  Dalam hati saya bertanya-tanya mengapa ada program peduli uang koin. Mungkin secara ilmu ekonomi ada alasan tertentu, tetapi rasanya cukup aneh bagi saya mengingat penggunaan koin sebagai alat tukar memiliki implikasi kultural yang rumit. Koin hanya digunakan untuk transaksi yang remeh temeh dengan nilai tukar yang kecil.
Mesin penjualan makanan dan minuman

mesin penjual kopi
Penggunaan koin sungguh berbeda dengan di negara-negara maju.  Koin sangat umum digunakan sebagai alat pembayaran dan memang sangat dibutuhkan. Ketika berada di Eropa saya merasa tidak nyaman jika dikatong saya tidak ada koin.  Saya selalu berusaha menyediakan koin dengan beberapa varian pecahan di kantong saya dari yang terkecil hingga yang terbesar.

 Koin menjadi bagian dari kebututuhan dalam keseharian karena koin sangat fleksibel untuk bertransaksi. Dengan koin kita dapat membeli makanan dan minuman melalui mesin yang banyak terdapat di berbagai tempat umum seperti stasiun, terminal. Jika tidak punya koin kita bisa kesakitan menahan kencing, atau malah kencing di celana  karena untuk masuk WC umum harus memasukkan koin agar pintunya bisa terbuka.  Beberapa WC umum kadang tidak ada penjaganya sehingga meskipun kita mempunyai berlembar-lembar uang kertas tetap tidak bisa masuk. Kalau ke museum atau perpustakaan kita tidak bisa dengan tenang meninggalkan tas kita di locker karena  untuk bisa menguncinya kita harus memasukkan koin ke dalam mesin kuncinya.
Bagian dalam kunci Locker
Tanpa koin kita juga tidak bisa menggunakan trolley untuk berbelanja di swalayan karena kita harus memasukkan koin agar kunci bisa dilepas dan trolley bisa digunakan. Selain itu varian pecahan koin dan penentuan harga barang juga sejalan. Pecahan koin tersedia hingga nominal satu cent  memungkinkan untuk membayar barang sesuai dengan harga barang sehingga tidak ada pembulatan harga. Kalaupun ada pembulatannya kurang dari satu sen. 
Kunci Trolly belanja

 Barang bisa dibayar sesuai harga
    Kondisi tersebut sungguh berbeda dengan di Indonesia, penggunaan koin sangat terbatas, paling hanya untuk jaga-jaga jika bertemu pengamen di perempatan jalan, untuk membayar parkir, untuk membayar toilet umum, atau dimasukkan ke kotak amal. Dulu masih lumayan ada telepon umum yang menggunakan koin, tetapi penggunaan HP yang kini meluas menjadikan telepon umum koin tinggal menjadi bagian dari relik masa lalu.  Dalam pikiran sinis saya mungkin upaya mempopulerkan penggunaan koin sama artinya dengan mempopulerkan kerokan, untuk mengusir masuk angin akibat perut kosong karena tidak kuat mengisi perut dengan kenyang dan bergizi.

1 komentar:

  1. Yuk Coba Pengalaman Taruhan Live Casino Online Terbaik Dan Terlengkap !
    .
    • SBOBET CASINO
    • MAXBET CASINO
    • 368BET CASINO
    • GD88
    • CBO55
    • WM CASINO
    • SV388 Sexy Baccarat
    • venus Casino

    Bonus Rollingan Terbesar s/d IDR 500.000.000,- Bonus 10% New Member Hanya Di Bolavita.

    Bonus Casino Live Komisi Rollingan 0.5% + 0.7% Setiap Minggu Hingga Ratusan Juta.

    Bonus Ini Diberikan Pada Pemain Casino Baik Menang ataupun Kalah.

    Daftar Sekarang Juga Di Website www. bolavita. site

    Info Lengkap Hubungi Customer Service Kami ( 24 JAM ONLINE ) :

    BBM: BOLAVITA
    WeChat: BOLAVITA
    WA: +62812-2222-995
    Line : cs_bolavita

    BalasHapus