live cycle

live cycle

Selasa, 28 September 2010

Dinamika Petani Jawa

Menyebut istilah petani, dalam konteks di Indonesia memiliki konotasi sebagai suatu kategori di dalam masyarakat yang hidup dalam lapis sosial rendah. Tidak jarang petani dilihat secara romantis sebagai orang yang hidup di pedesaan, aman, tentram, bersahaja dengan segala kesederhanaan hidup. Tinggal di daerah pedesaan dengan hamparan sawah yang subur. Hidup dari hasil kerja sendiri dengan makan dari apa yang dipetik di lahan yang dimiliki. Pendangan ini muncul dari pandangan yang bias kelas dan bias kota, dari sudut pandang kelas menengah yang (mayoritas) hidup di kota dan hidup dalam sistem kapitalisme pasar. Mereka terserap dalam sistem produksi yang mengandalkan mesin (industri) dan tersegmentasi dalam hubungan pekerja (buruh) dan Pemilik Modal (majikan).

Menengok kembali sistem pertanian pada masa kolonial, khususnya di Jawa telah mengalami perubahan seiring dengan berkembangnya sistem ekonomi kapitalis. Persekongkolan yang terjadi antara para penguasa feodal dengan kongsi-kongsi dagang Eropa telah merubah sistem pertanian di Jawa. Petani mulai mengenal tanaman-tanaman komoditi yang memiliki harga tinggi di pasar Eropa. Namun situasi ini tidak merubah petani menjadi lebih baik. Kondisi petani semakin buruk karena adanya tekanan untuk memenuhi pasokan hasil bumi ke pasar Eropa. Tekanan tersebut dilakukan tidak hanya oleh para kongsi dagang Eropa tetapi juga melalui penguasa-penguasa lokal yang ingin mendapatkan bagian keuntungan dari hasil yang dibeli oleh kongsi-kongsi dagang Eropa. Tanam paksa yang diberlakukan pemerintah kolonial pada 1839-1830 merupakan masa gelap bagi sejarah pertanian di Indonesia. Kehidupan petani semakin buruk. Lahan pertanian dipakai untuk menanam tanaman komoditi pasar Eropa sehingga lahan untuk tanaman pangan berkurang. Tenaga kerja petani diperas karena harus melakukan wajib kerja di lahan-lahan yang belum digarap petani untuk dibuka dan ditanami kopi. Pada masa ini terjadi perubahan besar dalam pola pemilikan lahan dan petani mulai mengenal sistem ekonomi uang. (Fauzi, 1999). Rakyat semakin miskin dan dalam situasi kelaparan karena lahan pertanian diprioritaskan untuk tanaman komoditi pasar Eropa seperti kopi, indigo, tebu dan tembakau. Situasi ini berlanjut ketika sistem liberal 1870-1900 berjalan. Sistem liberal menggantikan sitem tanam paksa yang mengakibatkan eksploitasi rakyat dalam bentuk lain. Situasi ini ditandai dengan munculnya perkebunan-perkebunan khususnya di Jawa yang mengakibatkan kondisi petani semakin sengsara. Petani kehilangan kebebasan dan kemerdekaannya karena dituntut untuk bekerja di perkebunan. Untuk memenuhi target produksi petani harus mengikuti kerja wajib (heerendiensen), kerja panen (pancendiensten), dan kerja wajib di perkebunan (cultuurediensten). (Suhartono, 1995)
Kajian mengenai petani yang dilakukan oleh Scott, 1989 yang melihat petani dalam dua posisi pokok yaitu sebagai pencocok tananam di pedesaan yang produksinya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan konsumsi keluarga dan kedua menempatkan petani dalam bagian dari satu masyarakat yang lebih luas termasuk golongan elit non petani dan Negara (Scott, 1989:138). Dalam posisisinya sebagai pencocok tanam menunjukkan bahwa aktivitas pertanian dilihat sebagai bagian dari aktivitas ekonomi dalam skala yang sempit yaitu sebagai upaya pemenuhan kebutuhan keluarga. Dalam pemenuhan kebutuhan itulah petani melakukan rasionalitas tertentu dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Berkaitan dengan hal ini Scott menemukan dua poin penting yang terjadi pada petani-petani di Asia Tenggara. Secara umum karakteristik petani Asia Tenggara adalah petani dengan lahan sempit dengan tenaga kerja berlimpah yang bersumber dari anggota keluarga. Akibatnya hasil dari pertanian menjadi harapan bagi keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yaitu makan. Akibatnya, seringkali hasil pertanian tidak sebanding dengan jumlah tenaga kerja yang terserap dalam kerja-kerja pertanian. Hal ini dikonsepkan oleh Scott sebagai petani yang hidup dalam pola subsiten, yaitu produksi pertanian dengan hasil yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok saja. Akibatnya tingkat ketergantungan terhadap hasil pertanian sangat tinggi sehingga kegagalan panen akan menjadi petaka bahkan harus kahilangan asset produksi mereka yang berupa ternak atau lahan yang memang sudah sempit. Cara lain yang dilakukan adalah menyediakan diri untuk menjadi tenaga kerja dengan upah yang sangat rendah. Implikasi lebih lanjut dari situasi ini adalah munculnya prinsip dahulukan selamat. Petani akan mengambil langkah aman dalam pertaniannya sebagai upaya untuk menghindari resiko dari kemungkinan kegagalan panen. Upaya tersebut dilakukan dengan menghindari penggunaan jenis tanaman atau cara bertani yang berbeda dengan tata cara yang sudah dipraktekkannya.
Pada posisi yang kedua, yaitu petani sebagai bagian dari satu masyarakat yang lebih luas termasuk golongan elit non petani dan Negara, posisi ini tidak menempatkan petani dalam posisi yang lebih baik. Di banyak tempat petani tidak memiliki posisi yang kuat dalam sistem ekonomi politik, bahkan sebaliknya mereka berada dalam posisi tertindas oleh para tuan tanah, elit ekonomi, politik, birokrat negara. Monopoli terhadap perdagangan hasil pertanian dan pajak-pajak yang harus dibayar petani semakin menampatkan petani dalam posisi yang sulit. Sebagai akibatnya banyak petani melakukan perlawanan-perlawanan terhadap tuan tanah dan Negara.
Dewasa ini, peningkatan jumlah populasi penduduk yang sangat cepat dan berkurangnya lahan pertanian akibat konversi lahan pertanian manjadi pemukiman dan pabrik secara signifikan telah menjadikan produktifitas pertanian menuju pada ambang marginal. Salah satu upaya untuk meningkatkan hasil pertanian adalah dengan menerapkan teknologi yang semakin intensif, dengan membangun sistem irigasi yang efektif . Orientasi ekonomi petani juga mulai berubah dari yang semula lebih menekankan pada aspek non ekonomi, beralih menjadi berorientasi ekonomi. Institusi-institusi di desa juga mengalami perubahan. (Hayami-Kikuchy;1987), (Sairin;1976) mencatat adanya perubahan sumber tenaga kerja pertanian terutama berkaitan dengan imbalan tenaga kerja dalam memanen padi yang semula dilakukan sistem derep menjadi tebasan. Sistem derep menekankan aspek hubungan sosial yang berorientasi pada hubungan-hubungan kekeluargaan sedangkan tebasan menekankan pada hasil pertanian yang berupa uang.
Strategi petani untuk mendapatkan uang cash akan dipaparkan melalui kisah tentang seorang petani berikut ini; Adalah Dalijo, begitu dia dipanggil oleh orang desa. Pada usianya saat ini 55 tahun telah selesai menyekolahkan anaknya yang terdiri dari 1 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. Anak-anaknya disekolahkan sampai tingkat pendidikan SMA. Pada saat ini anak laki-lakinya bekerja sebagai sopir angkutan pedesaan sedangkan 2 orang anak perempuannya bekerja di sebuah pabrik kayu lapis dekat dengan tempat tinggalnya sedangkan satu anak perempuannya menjadi istri seorang karyawan pabrik di Jakarta.
Kehidupan sehari-hari Dalijo adalah sebagai petani. Dia memiliki sawah seluas 2000 m2 warisan dari orang tuanya. Hasil dari sawah miliknya tidak dapat untuk mencukupi kebutuhan hidup, dia kemudian menjadi petani penggarap seluas 2500 m2 dengan sistem maro (bagi hasil). Istrinya berjualan hasil kebun berupa buah melinjo dan daun pohon (so), daun sirih. Sebagai kegiatan tambahan Dalijo juga memelihara seekor sapi milik tetangganya. Sapi itu dia pelihara dengan sistem gaduh,. yaitu memelihara sapi milik orang lain kemudian setengah keuntungan penujalan induk dan anak sapi akan menjadi miliknya.
Hasil sawah menjadi sumber penghasilan utama keluarga. Kedua sawah itu ditanami jenis tanaman yang sama yaitu padi kemudian palawija dan tembakau. Panen padi dari sawah miliknya akan dia bawa pulang dan disimpan dalam bentuk gabah kering. Selain untuk persediaaan makan, gabah kering itu digiling menjadi beras kemudian sedikit demi sedikit dijual ke pasar untuk mendapatkan uang tunai untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari dan membayar uang sekolah anaknya. Kadangkala beras dibawa untuk menyumbang acara selamatan tetangga atau saudaranya. Sedangkan hasil padi dari sawah garapan bagi hasil akan dijual dengan sistem tebasan. Ada kalanya pemilik sawah membayar padi yang menjadi bagiannya sehingga seluruh hasil panen akan menjadi hak pemilik sawah. Hasil uang tunai itulah yang dia gunakan untuk memenuhi kebutuhan uang tunainya. Sedangkan panen palawija dan tembakau dari kedua sawah yang dikerjakannya dijual dengan cara tebasan.
Dalam keadaan tertentu misalnya ada keluarga yang sakit, sehingga harus menyediakan uang tunai, maka Dalijo meminjam uang kepada pemilik sawah atau pemilik sapi yang digaduh. Pinjaman tersebut akan diperhitungkan pada saat penjualan sapi atau penjualan hasil panen. Cara lain yang dilakukan adalah dengan masuk dalam organisasi-organisasi di kampung seperti kelompok arisan dan simpan pinjam yang diadakan setiap 35 hari sekali (lapanan) Dalijo mengikuti 3 organisasi simpan pinjam yang ada di tingkat RT. RW dan Kadus.
Dalijo bercerita bahwa kebutuhannya yang paling besar adalah untuk membiaya sekolah anak-anaknya. Untuk kebutuhan lain masih bisa ditundanya tetapi kalau untuk kebutuhan sekolah anaknya ia akan sesegera mungkin menyediakannya. Hal itu dilakukan karena Dalijo berharap anaknya tidak menjadi bodoh seperti dirinya dan tidak mau anaknya hanya menjadi petani. Pada saat masih menyekolahkan anaknya, 1 orang anaknya sekolah di SMP, 1 di STM dan 1 di SMEA. Mereka ke sekolah dengan naik angkutan umum, sehingga setiap harinya Dalijo harus menyediakan ongkos angkutan untuk ketiga anaknya sebesar Rp. 6.000,- Jarak antara rumah dengan sekolah anaknya berkisar 12 km namun sejak dibangunnya jalan asapal menuju ke kecamatan dan tersedianya angkutan pedesaan maka anak-anak sekolah jarang menggunakan sepeda untuk pergi dan pulang sekolah. Sepeda menjadi tidak popler untuk alat transportasi ke sekolah. Anak-anak sekolah di desanya lebih suka naik angkutan umum yang kadang harus membuatnya menunggu hingga 15 menit. Belum lagi pada saat berangkat dan pulang sekolah mereka harus berdesak-desakan dalam angkutan pedesaan. Padahal dengan naik sepeda dapat ditempuh dalam waktu tidak lebih dari 30 menit.
Dalam mengolah sawah, Dalijo tidak pernah melibatkan anak-anaknya. Tenaga kerja tambahan selain istri dan dirinya adalah dari tenaga buruh tani atau gotong royong. Anak-anaknya hanya membantu sesekali saja di sawah pada saat tertentu misalnya mengantar makanan ke sawah pada saat libur. Anak-anaknya tidak dilibatkan dalam mengolah sawah karena Dalijo menganggap tugas utama anaknya hanyalah sekolah, bukan mengurus sawah. Dalijo berpendapat kalau hanya untuk membantu di sawah lebih baik anaknya tidak perlu sekolah. Kebijakan dan himbauan pemerintah untuk meningkatkan taraf pendidikan ternyata direspon posistif oleh keluarga-keluarga di pedesaan. Dengan berbagai cara mereka berusaha menyekolahkan anaknya hingga minimal bisa membaca dan menulis. Dalam bayangan para orang tua dengan menyekolahkan anaknya maka kehidupannya akan menjadi lebih baik dan tidak merasakan susahnya menjadi petani. Setelah selesai sekolah anak-anaknya diharapkan dapat bekerja di kota. Kenyataan sering berbeda dengan yang diharapkan. Anak-anak yang sudah berpendidikan dengan mengantongi ijasah dari sekolah formal tidak dapat terserap dalam pasar kerja non pertanian. Anak-anak muda lulusan SMA menjadi kelompok usia produktif yang mengalami kebingungan. Secara sosial mereka ditempatkan sebagai kaum berpendidikan dengan bekal pendidikan yang dimiliki sehingga untuk masuk ke sektor pertanian dianggap tidak sesuai karena pekerjaan sebagai petani adalah pekerjaan bagi orang yang tidak berpendidikan. Pada sisi lain, pendidikan di sekolah telah menjauhkan mereka dengan sektor pertanian sehingga mereka tidak memiliki kemampuan dalam mengolah lahan seperti orang tuanya. Akibatnya urbanisasi usia produktif ke kota berharap dapat masuk dalam pasar tenaga kerja industri dengan menjadi buruh dengan upah rendah pada industri-industri dan pabrik. Desa mengalami kekurangan tenaga kerja. Anggota keluarga yang semula menjadi sumber tenaga kerja bagi pertanian tidak lagi dapat diharapkan sehingga untuk mengolah sawah dibutuhkan tenaga buruh tani upahan. Dampaknya biaya mengolah sawah sangat tinggi karena harus menyediakan ongkos tambahan untuk membayar buruh tani.
Kenaikan harga BBM yang terjadi mungkin tidak terbayangkan oleh penentu kebijakan akan berdampak langsung bagi petani dalam mengolah lahan pertanian. Ketika tenaga kerbau dan sapi untuk membajak sawah digantikan traktor, pengairan harus disediakan dengan menggunakan mesin pompa air, maka petani menjadi tergantung dengan bahan bakar bensin dan solar. Secara otomatis Input modal pertanian pun semakin naik, sedangkan hasil pertanian tidak lagi bisa diharapkan.
Perubahan telah dialami petani pada masa kini. Keberadaan mereka tidak lagi berdiri sendiri sebagai petani tetapi juga berhubungan dengan kebijakan Negara dan situasi ekonomi politik dunia luar. Persoalan import beras yang menjadi kebijakan pemerintah, pabrik-pabrik pupuk dan obat-obatan menjadikan persoalan petani tidak lagi dilihat sebagai persoalan yang terpisah dengan yang lain. Tekanan kapitalisme global mau tidak mau harus diikuti oleh produktifitas yang berorientasi pada ekonomi uang sehingga tidak lagi hanya mengandalkan untuk kepentingan subsistensi. Masalahnya kemudian adalah, bagaimana petani kita menghadapi perubahan ini.
***

1 komentar:

  1. Yuk Coba Pengalaman Taruhan Live Casino Online Terbaik Dan Terlengkap !
    .
    • SBOBET CASINO
    • MAXBET CASINO
    • 368BET CASINO
    • GD88
    • CBO55
    • WM CASINO
    • SV388 Sexy Baccarat
    • venus Casino

    Bonus Rollingan Terbesar s/d IDR 500.000.000,- Bonus 10% New Member Hanya Di Bolavita.

    Bonus Casino Live Komisi Rollingan 0.5% + 0.7% Setiap Minggu Hingga Ratusan Juta.

    Bonus Ini Diberikan Pada Pemain Casino Baik Menang ataupun Kalah.

    Daftar Sekarang Juga Di Website www. bolavita. site

    Info Lengkap Hubungi Customer Service Kami ( 24 JAM ONLINE ) :

    BBM: BOLAVITA
    WeChat: BOLAVITA
    WA: +62812-2222-995
    Line : cs_bolavita

    BalasHapus