live cycle

live cycle

Selasa, 28 September 2010

Kamera Untuk Rakyat: Upaya menuju Proses Belajar yang Partisipatoris

Di Indonesia, istilah partisipatoris menjadi kata yang popular digunakan kira-kira 10 tahun belakangan ini sebagai metode dalam merencanakan dan melakukan program-program oleh berbagai kalangan baik pemerintah dalam upaya melakukan pembangunan, maupun kalangan lembaga non pemerintah sebagai upaya pemberdayaan. Sebelum methode ini berkembang, perencanaan dan pelaksanaan program pada kelompok sasaran tertentu melalui pendekatan dari luar dengan menempatkan posisi sebagai orang yang merasa lebih mampu dan pandai daripada kelompok yang menjadi target programnya. Akibatnya program yang dilakukan seringkali merupakan program yang sebetulnya tidak dibutuhkan oleh masyarakat. Methode partisipatoris merupakan pembalikan dari pandangan yang demikian. Dalam methode partisipatoris menempatkan masyarakat/kelompok sasaran program sebagai kelompok yang memiliki pengetahuan sehingga yang perlu dilakukan adalah mendorong mereka untuk memformulasikan pengetahuannya sehingga menemukan kesadan kritis untuk melakukan perubahan terhadap persoalan yang dialami. Memberikan ruang seleluasa mungkin untuk mengungkapkan pengalaman, menyampaikan gagasan sehingga dapat menemukan dan merumuskan persoalan dan tindakan penyelesaian bersama. Kolektivitas/kebersamaan menjadi penting namun eksistensi individu tetap diakui. Kolektivitas dibangun melalui proses dialog dan saling belajar untuk menerima perbedaan dan mendengar dari orang lain.

Pada tahun 2002, saya terlibat dalam suatu program dari lembaga Etnoreflika untuk membuat program workshop bersama komunitas anak jalanan perempuan di Yogyakarta. Program ini adalah program pertama sebagai eksperimen dari program yang diberi nama “Kamera Untuk Rakyat”. Workshop ini bukan program yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari program besar yang diselenggarakan oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Yogyakarta yang memiliki fokus kegiatan pada persoalan anak-anak jalanan. Gagasan besar dari tujuan program ini adalah memberikan ruang partisipasi bagi anak-anak jalanan untuk mengartikulasikan apa yang mereka inginkan sekaligus menyediakan ruang bagi khalayak luas untuk melihat kehidupan anak jalanan dengan stigma sosial yang melekat, sebagai kelompok yang “mengganggu dan meresahkan masyarakat”. Memberikan ruang partisipasi bagi anak-anak berarti memberikan otoritas yang leluasa untuk menentukan apa yang mereka inginkan. Hal ini diperlukan karena selama ini posisi anak-anak dikondisikan untuk selalu tunduk oleh keinginan orang dewasa (dan orang tua) sehingga tidak memiliki keleluasaan untuk menentukan pendapat dan mengambil keputusan bagi dirinya sendiri, terlebih lagi pada anak jalanan yang sangat rentan terhadap perlakuan diskriminatif secara sosial maupun institusional. Salah satu pilihannya adalah dengan menggunakan media video sebagai piranti workshop.
Methode workshop yang diselenggarakan adalah dengan memberikan kamera video kepada para peserta yang kemudian mereka gunakan untuk bercerita dan menyampikan apa yang ingin mereka ceritakan. Dalam program ini peserta tidak diberi kamera untuk merekam secara lagsung, tetapi ada proses belajar bersama bagaimana teknik dasar menggunakan alat perekan ini. Selain belajar teknik menggunakan kamera, di dalam workshop juga belajar tentang bagaimana menyusun cerita, mulai dari mencari ide/tema cerita, menuliskan skrip hingga merekam dan memilih gambar/adegan untuk disusun menjadi suatu cerita dalam film.
Methode workshop yang dilakukan etnoreflika dengan menggunakan media kamera video berkembang dengan komunitas yang berbeda-beda. Setelah workshop dengan anak jalanan perempuan yang mengangkat issu pengalaman hidup di jalan, kemudia workshop berikutnya adalah anak jalanan laki-laki dengan mengangkat issu dikriminasi pelayanan kesehatan yang dialami anak-anak jalanan. Workshop berikutnya dengan para patani di pinggiran kawasan hutan PT Perhutani di Sukabumi, Jawa Barat, Kemudian dengan komunitas anak-anak perempuan di stasiun Lempuyangan Yogyakarta, Worskshop dengan anak-anak Bangun Jiwo di Bantul Yogyakarta. Dua workshop terakhir yang dilakukan dengan peserta Ibu-ibu kader Posyandu di Pundong, Bantul dan Komunitas anak-anak di tiga kampong yaitu, Pajeksan, Cokrodirjan dan Wadas, Sleman.
Tulisan ini secara singkat dan ringkas akan kembali melihat proses workshop yang telah dilakukan etnoreflika sebagai refleksi pengalaman saya ketika terlibat bersama-sama dalam kegiatan-kegiatan tersebut dalam upaya melihat kembali proses bekerja dan belajar bersama-sama sebagai sebuah kerja yang partisipatoris.
Berdasarkan pesertanya, secara garis besar workshop yang dilakukan Etnoreflika dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu anak-anak dan orang dewasa. Kelompok anak-anak terdiri dari anak jalanan dan anak kampung sedangkan peserta orang dewasa terdiri dari bapak-bapak kader petani hutan dan ibu-ibu kader Posyandu. Tulisan ini akan lebih banyak mengungkapkan tentang pengalaman bekerja dengan anak-anak dengan pertimbangan adanya variasi yang cukup beragam dari komunitas yang pernah saya alami dalam workshop.
Mengawali program workshop kamera untuk rakyat bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana. Sebelum workshop dilaksanakan, terlebih dahulu diadakan sosialisasi kepada peserta tentang tujuan workshop dan bentuknya. Sebuah hal yang mengejutkan peserta ketika mengetahui bahwa mereka akan menjadi orang yang aktif untuk membuat filmnya. Dalam kebiasaan yang lazim dilakukan, partisipan hanya sebatas memberikan ide cerita atau narasumber, dan paling banter kemudian menjadi aktornya. Tahap membuat dan menyusun cerita, mengatur pengambilan gambar, sampai selesai filmnya dilakukan oleh orang lain dan setelah selesai mereka menjadi penonton. Keterkejutan ini tentunya sangat beralasan mengingat banjir media televisi belakangan ini telah menempatkan penonton sebagai konsumen dari citra yang dibangun melalui media televisi. Keterkejutan ini tidak hanya terjadi pada anak-anak tetapi juga para petani dan ibu-ibu kader Posyandu. Rasa ketidakyakinan bahwa mereka bisa membuat film, disampaikan peserta dalam sesi awal workshop. Ketidakyakinan itu muncul karena alasan belum pernah melakukannya, dan tidak biasa memegang alat-alat pembuatan film khususnya kamera. Namun dengan semangat untuk saling belajar dan bertukar pengalaman, serta memebrikan pilihan media lain—dalan hal ini media visual—sebagai media untuk mengungkapkan pengalaman dan gagasan.
Workshop dimulai dengan membuat tema tentang apa yang ingin diceritakan. Dalam eksplorasi ide cerita terjadi dialog di antara para peserta yang mengarah pada situasi yang memungkinkan peserta dapat menyampaikan gagasan, mendengarkan orang lain, menerima pendapat orang lain, dan memberikan perhatian dan mencermati terhadap pengalaman orang lain. Selanjutnya cerita dari ekspresi individual didialogkan untuk membangun cerita kolektif. Penyusunan cerita kolektif merupakan proses belajar menemukan persoalan bersama serta memikirkan kembali secara kritis dan reflektif terhadap pengalaman mereka.
Memegang kamera, menggunakannya untuk merekam sekelilingnya, kemudian melihat kembali hasil rekaman yang dibuat merupakaan saat yang memancing antusiasme peserta. Ketika anak-anak melalui proses praktek menggunakan kamera, tampak mereka sangat aktif untuk merekam sekelilingnya termasuk bagian tubuh dari temannya. Anak-anak yang berada di depan kamera secara aktif merespon temannya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan temannya seperti sebuah acara reportase atau wawancara di televisi. Di depan kamera anak-anak menyerahkan dirinya untuk direkam kamera, namun bukan untuk menyerah menjadi obyek perekaman yang pasrah, mereka dapat menemukan sesuatu pada dirinya terutama saat melihat ulang bersama-sama hasil rekamannya. Saling mengomentari apa yang ada dalam rekaman menjadi bahan dialog di antara mereka dan saling menjelaskan tentang apa yang tampak dari hasil rekamannya.
Saat merekam dengan kamera, ada kecenderungan anak-anak merekam gambar secara close-up dari bagian-bagain di sekelilingnya juga pada bagian-bagian tubuh temannya. Kecenderungan melihat secara close-up dengan alat bantu kamera sangat berlawanan dengan cara melihat sehari-hari dan bayangan anak-anak. Ketika membuat story board untuk membuat panduan cerita dan pengambilan gambar, anak-anak cenderung untuk menggambarkan secara lebar (wide) dengan memasukkan bagian-bagian yang sangat komplek ke dalam satu bingkai.
Menentukan gambar seperti apa yang akan ditampilkan dalam film, kemudian mengurutkannya dalam suatu cerita untuk menyampaikan apa yang ingin diceritakan melalui media film merupakan ruang yang sangat luas bagi peserta dalam situasi yang partisipatoris karena dapat meminimalisir perbedaan dominasi pengetahuan terhadap penguasaan media misalnya media tulis, ekspresi gerak atau lisan secara langsung tanpa media bantu seperti kamera.

Titik Berhenti Sementara
Bukan alasan yang mengada-ada mengapa video menjadi pilihan alat dalam program ini, walupun bukan satu-satunya methode yang efektif untuk melakukan proses pembelajaran bersama (lesson learn) tetapi penggunaan mehode video memiliki beberapa kelebihan dibanding media lain. Memberikan kamera untuk merekam apa yang ingin direkam dan menunjukkan apa yang akan ditunjukkan merupakan proses yang efektif untuk membangun kepercayaan diri. Melalui kamera peserta dapat membangun citra dirinya sesuai dengan apa yang diinginkannya sehingga menjadi subyek bagi dirinya sendiri. Kebersamaan akan terbangun dalam proses semacam ini karena keputusan menentukan gambar yang akan diambil, sudut pengambilan serta dialog merupakan hasil keputusan kelompok yang sudah dibicarakan bersama. Dalam workshop ini peserta diajak untuk berproses mengorganisir kelompok dan membangun ide-ide bersama dalam kerja produksi sebuah film. Melakukan produksi film bukanlah kerja individual (walupun tidak menutup kemungkinan untuk mengerjakan seluruhnya sendiri), karena membutuhkan kameraman, pemain dan pendukung lainnya. Di dalam proses ini terkandung aktivitas kolektif sehingga secara langsung menjadi sarana bagi peserta untuk berinteraksi secara aktif dalam proses pembuatannya untuk saling mengungkapkan ide, mendengar dan menerima ide orang lain sehingga akan membawa pada pembentukan solidaritas kelompok. Pada sisi lain, proses ini bukan semata-mata partisipasi peserta secara fisik dan artifisial karena mereka secara aktif terlibat dalam proses belajar dan kesempatan yang sama untuk mengartikulasikan dirinya.
Dari pengalaman melakukan kegian workshop kamera untuk rakyat, terdapat beberapa hal penting dalam upaya membangun kesadaran kritis dan ruang refleksi bersama untuk menentukan bagaimana besikap dan apa yang harus dilakukan. Media film hasil workshop menjadi media yang dapat dipakai sebagai bahan dialog yang melebihi pertemuan tatap muka (face to face) karena dapat memfasilitasi dialog lintas batas ruang, waktu, geografis, bahasa, budaya, serta dapat menjadi media bagi yang tidak bersuara menjadi dapat bersuara, dengan menjangkau golongan bawah yang tidak mungkin bertemu dangan para golongan atas penentu kebijakan. Melalui film yang dibuat, anak-anak dapat bertutur tentang dirinya dan membuka peluang dari anak-anak untuk mengkomunikasikan perspektif dan realitas anak-anak realitas dalam lingkungan, tata wicara dan budi bahasa yang mereka sukai, Orang lain dipaksa mendengaran dan tidak bisa menginterupsi.

1 komentar:

  1. Yuk Coba Pengalaman Taruhan Live Casino Online Terbaik Dan Terlengkap !
    .
    • SBOBET CASINO
    • MAXBET CASINO
    • 368BET CASINO
    • GD88
    • CBO55
    • WM CASINO
    • SV388 Sexy Baccarat
    • venus Casino

    Bonus Rollingan Terbesar s/d IDR 500.000.000,- Bonus 10% New Member Hanya Di Bolavita.

    Bonus Casino Live Komisi Rollingan 0.5% + 0.7% Setiap Minggu Hingga Ratusan Juta.

    Bonus Ini Diberikan Pada Pemain Casino Baik Menang ataupun Kalah.

    Daftar Sekarang Juga Di Website www. bolavita. site

    Info Lengkap Hubungi Customer Service Kami ( 24 JAM ONLINE ) :

    BBM: BOLAVITA
    WeChat: BOLAVITA
    WA: +62812-2222-995
    Line : cs_bolavita

    BalasHapus