live cycle

live cycle

Senin, 07 September 2009

Tayangan Berita Kriminal di Televisi


“Ingat kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya tetapi juga karena ada kesempatan, wapasalah, waspadalah..!!!”
Begitulah kata-kata yang diucapkan Bang Napi seorang laki-laki berbadan besar mengenakan rompi kulit dan lengan bertato dan sebagian wajah ditutup topeng sehingga semakin menunjukkan kesannya yang sangar. Dengan seting dekorasi seperti seorang penjahat di dalam bui, Bang Napi selalu muncul dibagian akhir acara berita kriminal “Sergap” yang ditayangkan RCTI setiap siang hari.

Sekitar tahun 2001 acara kriminal yang dikemas menjadi sebuah acara yang berisi tantang berita peristiwa-peristiwa kriminal dari berbagai penjuru tempat di negeri ini menjadi mata acara yang hampir diproduksi oleh tv swasta di Indonesia. Pada awalnya berita kriminal hanya menjadi salah satu isi berita dari tayangan berbagai berita lain, namunpada perkembangannya seluruh stasiun televisi merasa perlu untuk menyediakan tempat tersendiri untuk menayangkan berita-berita khusus kriminal. Pada awalnya berita kriminal ini hanya ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi Indosiar dengan nama acaranya “Patroli”, acara yang berdirasi 30 menit ini ditayangkan pada tengah hari bolong, untuk manyajikan berbagai peristiwa kriminal yang terjadi di pelosok tempat. Acara bertajuk berita kriminal ini rupanya sukses yang ditandai dengan tingginya rating penonton dan sangat populer di kalangan masyarakat. Melihat kesuksesan acara ini rupanya menarik minat bagi stasiun televisi lainnya untuk membuat program acara serupa dengan nama yang berbea-beda seperti Patroli (Indosiar). Buser (SCTV), Sergap (RCTI), Sidik (TPI), Kriminal (TransTV), TKP (TV7), dan Brutal (Lativi). Selain acara berika kriminal dengan durasi 30 menit berisi berbagai kasus, tetapi beberapa stasiun televisi juga membuat tayangan yang mengungkap khusus satu peristiwa kriminal dalam durasi 30 menit, seperti acara fakta (ANTV), investigasi (Lativi) Jejak kasus (Indosiar), dan Derap Hukum (SCTV), dan Lacak (Transtv). Dalam format acara ini peristiwa disajikan dengan lebih lengkap dengan menyampaikan latar belakang kejadian, pelaku, korban, serta komentar dan pandangan orang-orang di sekitar pelaku, maupun program. Ulasan dan komentar pakar kriminal dan hokum juga turut disajikan. Seringkali dalam tayangan menggunakan model/aktor pengganti untuk memerankan adegan “seolah-olah” seperti saat peristiwanya terjadi.
Mengemas peristiwa kriminal menjadi sebuah berita yang disebar luaskan melalui media memang bukan hal baru. Sebelum industri televisi marak seperti belakangan ini, media massa cetak sudah lebih dahulu berkembang dan ada beberapa di antaranya yang mengkhususkan diri dengan memuat berbagai berita kriminal yang terjadi. Sebut saja misalnya Pos Kota, sebuah surat kabar harian yang terbit di Jakarta ini merupakan media cetak yang sudah sejak tahun 70an memuat berita-berita kriminal, dan masih banyak media harian lokal yang serupa seperti Koran Merapi, dan Meteor. Berita kriminal yang dikemas dalam media messa cetak umumnya menampilkan foto pelaku atau korban serta dicetak dengan halaman berwarna di halaman pertama dan halaman terakhir. Selain berita kriminal umumnya juga disertai dengan rubrik yang berisi tentang persoalan seksual, hal-hal ghaib, serta penuh dengan iklan-iklan obat penambah daya kekuatan seksual, serta pengobatan alternatif.
Sejak televisi mulai ikut-ikutan menyiarkan berita kriminal menjadi sebuah acara, berbagai tanggapan pro dan kontra dari berbagai kalangan pun muncul. Ada anggapan bahwa penayangan gambar dalam berita tersebut menampilkan kekerasan sehingga dapat mempengaruhi penonton untuk mengikuti apa yang dia lihat melalui televisi, terutama jika acara tersebut ditonton oleh anak-anak --acara ini memang sangat mungkin ditonton anak-anak karena jam tayang umumnya pada tengah hari namun belum ada bukti yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa tayangan kriminal secara parallel juga menyebabkan meningkatnya berita kriminal. Sementara ada juga yang beranggapan bahwa acara ini baik karena dapat memberikan peringatan bagi masyarakat terhadap bahaya sehingga dapat berhati-hati dan dapat menghindarkan diri dari kemungkinan menjadi korban kriminal.
Terlepas dari persoalan pro dan kontra atas tayangan berita kriminal di televisi, ada pertanyaan yang cukup menggelitik saya, mengapa jenis tayangan seperti ini dimintai banyak penonton? Apa sebetulnya yang dicari dan didapatkan penonton dengan menyaksikan acara ini?
Dalam tayangan tersebut, pola pemberitaan umumnya seragam, visualisasi yang ditampilkan adalah pelaku tindak kriminal saat di interogasi Polisi, komentar polisi, visualisai korban, dan komentar keluarga atau orang terdekat korban. Dalam menampilan sosok pelaku, ada kalanya wajah korban dibuat kabur sehingga tidak dikenali wajahnya namun ada kalanya ditampilkan secara focus dan dapat dilihat raut mukanya. Sudut pengambilan gambar diambil dari belakang korban atau dari samping dan hampir tidak pernah divisualisaikan secara close-up dari depan. Narsi dalam bentuk auditif disampaikan oleh narrator/pembaca berita yang mnuturkan lokasi kejadian, latar belakang yang menjadi penyebabnya. dan modus operandinya. Ragam peristiwa yang ditampilkan adalah kasus-kasus penipuan, pembunuhan, tindak susila, pencurian dan penggunaan obat-obat terlarang. Adakalanya berita yang ditampikan masih layak dipertanyakan apakah suatu kasus dikategorikan sebagai kasus kriminal. Kasus kematian tukang sayur akibat tercebur ke dalam sumur dan baru diketahui oleh anaknya tiga hari setelah kejadian ditayangkan oleh TPI dalam acara Sidik pada 9 januari lalu, pada akhir berita pembawa acara mengatakan “ Sejauh ini belum diketahui apakah sebab kematiannya akibat jatuh atau sebab lain”. Melihat hal tersebut menunjukkan bahwa kematian merupakan sesuatu yang harus dicurigai dan dijelaskan sebagai kasus kriminalitas. Sedikit banyak tayangan-tayangan kriminalitas ini turut memberikan difinisi terhadap apa yang dapat dikategorikan sebagai kasus kriminal.
Dengan durasi 30 menit beserta selingan iklan membuat acara ini menyajikan 5-6 kasus kriminal, membuat acara ini dituntut padat informasi namun cenderung menjadi compang-camping karena informasi yang disajikan hanya penggalan peristiwa tanpa konteks tertentu. Berkaitan dengan soal berita Sarup (2003:292) melihat bahwa berita televisi tidak lebih dari sekedar rangkaian citra-citra permukaan, penanda, untuk dialami pemirsa. Berita TV adalah kolase-citra-citra yang terfragmentasi dan setiap citra adalah simulacrum. Berita TV adalah citra dari citra atas citra. Bagi penonton, persitiwa yang ditampilkan dalam berita kriminal itu terjadi atau tidak bukanlah menjadi tuntutan/kebutuhan untuk diketahui. Kedudukan berita kriminal layaknya sebuah tayangan sinetron yang ditunggu-tunggu jalan ceritanya tanpa harus memikirkan apakah kasus tersebut benar terjadi. Situasi seperti ini yang menurut Bouldrillard dikatakan bahwa saat ini kita hidup di dunia di mana semua yang kita miliki adalah simulasi, tidak ada “yang nyata” di luar simulasi itu, tidak ada yang asli yang ditiru. Bukan lagi dunia “nyata”versus dunia yang tiruan atau mimikri, tetapi sebuah dunia di mana yang ada hanya simulasi. (Sarup 2003: 290). Apa yang disajikan dalam televisi merupakan suatu tanda yang tidak lagi berkaitan langsung dengan realitas, dan yang ada adalah hiper-realitas, televisi menjadi lebih nyata dari dunia realitasnya sendiri, realitas telah terserap dalam citra televisi dan mampu membuat pemirsanya tenggelam dalam citra simularumnya.. Dalam televisi, realitas fantasi, halusinasi, ilusi atau fatamorgana telah lebur menjadi satu. Piliang (1999:91)

Berita Kriminal: Konsumsi Ketakutan massa(l)

Kriminalitas dapat terjadi di mana saja dan siapa saja sebagai korbannya tanpa pandang bulu. Hadirnya tayangan kasus-kasus kriminal lewat medium televisi merupakan sajian yang menusuk masuk dalam ruang ruang privat keluarga. Di dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat untuk mendapatkan rasa aman, jauh dari ancaman dan “orang asing” yang membahayakan rupanya telah dirasuki hantu-hantu yang menyebarkan teror ketakutan massa(l). Pada tingkat tertentu kriminalitas didifinisikan sebagai sebuah penyakit masyarakat (PEKAT) yang harus dicari obatnya dan terus diingat-ingatkan untuk dijauhi, dihentikan dan dibasmi penyebaran virusnya. Sebuah spanduk yang dipasang di depan balai RW di Daerah Klitren menunjukan bahwa sesungguhnnya penyakit itu justru sudah akut menyerang kita.

Penutup

Kehadiran teknologi televisi merupakan salah satu contoh era budaya posmodernism. Realitas kembali dipertanyakan karena apa yang ditampilkan secara visual dan auditif bukanlah realitasnya karena apa yang direkam kamera video
lalu ditayangkan lewat media televisi adalah peristiwa yang sudah lewat dan sangat berjarak secara spasial dan waktu dengan peristiwanya. Praktek media telah menata kembali pemahaman terhadap ruang dan waktu. Apa yang nyata bukan lagi hubungan kita di layar TV: TV adalah dunia. TV mencair ke dalam kehidupan dan kehidupan menabur ke dalam TV. Yang ilusi “dibuat nyata” dan “yang nyata” menjadi ilusi. Simulasi menggantikan produksi (Sarup 2003:291).
Berita kriminal di televisi membawa pada suatu kenikmatan visual yang menjadi jawaban atas persoalan penegakan hukum yang berjalan timpang di negeri ini. Setidaknya lewat tayangan itu dapat menunjukkan bahwa polisi telah bekerja dan tidak hanya bisa menarik pungutan liar atau menjadi “polisi tidur”.

2 komentar:

  1. VipMandiriQQ menghadirkan minimal deposit dan withdraw yang sangat rendah loh
    minimal deposit Rp15.000
    Minimal Withdraw Rp15.000

    Kami juga Menyediakan Promo Menarik
    Bonus Refferal 10% + 10%
    Bonus CashBack 0.3% - 0.5%

    Mari di add Pin BBM kami : 2BE55E80

    BalasHapus
  2. DaduDomino.com

    Situs BandarQ 6 Game 1 ID
    Minimal Dp 20rb
    Minimal Wd 50rb

    Bonus Turnover dibagikan Setiap Hari dan Bonus Refferal Terbesar

    Menang Hanya di DaduPoker

    Info Lebih Lanjut goo.gl/PpRXxc

    BBM : 2BE2B4B7

    BalasHapus