live cycle

live cycle

Senin, 14 September 2009

Menari di Atas Data Sebuah Upaya Mencermati Karya Shiraishi


Gunawan
Pendahuluan
Tahun 1989 merupakan masa menjelang akhir dasawarsa kedua dan masuk dasawarsa ke tiga bagi berlangsungnya Orde baru bagi Indonesia. Orde baru merupakan kurun waktu perkembangan sejarah politik bagi bangsa Indonesia yang ditandai dengan peralihan tampuk kepemimpinan negara dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto. Orde Baru di bawah kepeminpinan Soeharto dipandang sebagai rezim yang penuh dengan represi serta sifat otoritarianisme penguasa/pemerintah terhadap warganya.. Keberadaan Soeharto sebagai presiden sangat mendominasi dalam tatanan pemerintahan sehingga kedudukan presiden menjadi segala-galanya dalam system politik di Indonesia. Kurang lebih dalam situasi negara seperti itulah Shiraishi datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian antropologi.

Melalui tulisan ini saya akan mencoba melakukan pembacaan atas tulisan dari Saya Shiraishi, seorang Antropolog asal Jepang yang mulai melakukan penelitian tahun 1989 dan kemudian hasilnya dipubilkasikan dalam bentuk buku dengan judul Young Heroes, The Familly in Politics. Buku tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan tahun 2001, dengan judul Pahlawan-Pahlawan Belia Keluarga Indonesia Dalam Politik. Untuk melakukan pembacaan ini saya akan menggunakan kerangka pemikiran David Jacobson dalam karyanya Reading Ethnography.
Karya etnografi berisi tentang interpretasi dan seleksi data sehingga dalam penggambaran orang, masyarakat atau kebudayaan dipahami dari perspektif: (1) apa pertanyaan yang ingin dijawab? (2) apa jawaban, penjelasan atau interpretasi yang disajikan?; (3) apa data yang ditampilkan sebagai bukti untuk mendukung interpretasinya itu?; dan (4) bagaimana pengorganisasian ketiga elemen tersebut ( Pesoalan, interpretasi, dan data) di atas agar menjadi suatu argumen? (Jacobson 1991:2) Etnografi adalah argumen, yang di dalamnya mengandung klaim mengenai perilaku seseorang, masyarakat, atau kebudayaan, dan data yang mengandung bukti untuk mendukung atau menentangnya. Dengan kata lain, “membaca” etnografi adalah mengidentifikasi klaimnya dan mengevaluasinya dengan data sebagai referensinya.
Indonesia di mata Orang Jepang
Apa yang disampaikan oleh Shiraishi untuk mengantarnya menunjukkan bahwa sebelum memulai proyek penelitiannya diawali dengan suatu asumsi tentang situasi dan kondisi politik di Indonesia, hal ini dapat ditangkap dalam tulisaannya sebagai berikut:
Tujuan penelitian ini adalah mencari kemungkinan untuk menerobos, dan akhirnya, menyingkap, masyarakat orde baru yang amat sangat tertekan.…Menurut saya sudah waktunya para antropolog mengkaji apa makna menjadi orang Indonesia, apakah ada sesuatu yang disebut sebagai masyarakat Indonesia. (hal vii)
Dari kutipan tersebut nampak bahwa Shiraishi memulai dengan satu penilain tentang kondisi masyarakat Indonesia pada masa Orde Baru. Dia menangkap bahwa masyarakat Indonesia mengalami tekanan secara politis dari pemerintah dalam hal ini adalah Soeharto sebagai kepala negara.
Untuk melihat lebih lanjut tentang situasi dan kondisi politik di Indonesia dan bagaimana negeri ini “dibangun”, Shiraishi mencoba melihat terminologi “bapak” sebagai poin of view untuk masuk dalam konsepsi keluarga dan relasinya dengan tata pemerintahan dan situasi politik di Indonesia. Shiraishi melihat bahwa keluarga menjadi konsep penting bagi Soeharto yang kemudian diimplementasikan dalam mengatur tata politik dan pemerintahan Indonesia. Dengan melihat fakta bahwa Indonesia merupakan negara yang terdiri dari ratusan kelompok etnik, tentunya juga miliki pengertian yang beragam mengenai keluarga. Hal itulah yang menuntun Shiraishi untuk melangkah lebih jauh dengan pertanyaan seperti yang dia tuliskan sebagai berikut:
Lantas bagaimana Indonesia dapat dibayangkan sebagai keluarga? Bagaimana berbagai pengertian dalam keluarga seperti bapak, ibu dan anak jadi arti politik yang penting di Indonesia dan dalam bahasa Indonesia? Bagaimana masa kanak-kanak dan keluarga dibentuk di Indonesia? (hal 9)
Untuk menuju pada jawaban atas pertanyaan tersebut Shiraishi memulai dari data yang bersifat tekstual. Data tekstual yang digunakan oleh Shiraisi untuk melihat bagaimana imajinasi keluarga dibayangkan oleh orang Indonesia adalah melalui cerita dalam majalah anak-anak “Bobo” yang menggambarkan pertemuan seorang kakek dengan anak dan cucunya. Melalui cerita itu Shiraishi melihat bahwa dalam hubungan keluarga terdapat hubungan-hubungan antar individu yang saling menunjukkan perhatian satu sama lain. Keberadaan individu yang bukan anggota keluarga sama sekali tidak ada artinya bagi seseorang dan hanya dianggap sebagai angin lalu saja. Orang-orang yang berkerumun di bandara adalah orang-orang yang berada dalam “kesendirian” dan tidak ada relasi yang menghubungkan orang lain. Peristiwa jemput menjemput yang terjadi di bandara menunjukkan bahwa orang hanya akan memperhatikan dan mencari wajah-wajah yang dikenal di antara kerumunan. Melalui pengalamnnya sendiri ketika Shiraishi pertama kali datang di Bandara Jakarta dan didukung oleh cerita pendek dari majalah anak-anak Shiraishi membangun argumen sebagai berikut:
Begitulah cara seseorang menemukan diri dan tempatnya di Jakrta. Inilah cara seseorang berhubungan dengan kota berpenduduk lebih dari delapan juta orang tak dikenal. Kehadiran dan identitasnya diakui dan dipercaya dalam rangkulan keluarga. (hal 16)
Lebih lanjut Shiraishi mencoba mencermati bagiamana hubungan kelurga berperan dalam wilayah yang terbuka/ruang publik (diluar rumah) Melalui data yang diambil dari judul cerita lain namun masih dari majalah yang sama Shiraishi mengajukan klaim bahwa keluarga menjadi wilayah penting yang dapat membuat orang menjadi aman dan selamat. Kelurga merupaka tempat untuk mendapatkan perlindungan dari berbagai bahaya. Berada di wilayah yang terdiri dari orang-orang yang tidak memilik ikatan keluarga adalah hal yang membahayakan. Seperti yang dituliskan sebagai berikut:
Jalanan di Jakarta, dengan panas dan bahayanya, terlalu keras bagi si gadis cilik untuk mengarungi dunia sendirian, lepas dari perhatian dan naungan keluarganya. Tanpa naungan itu anak-anak akan terpanggang dan tercopet. (hal 33)
Argumen-argumen yang diajukan oleh Shiraishi untuk melihat bagaimana ekspresi keluarga ini dipraktekkan dalam hubungan-hubungan antar anggotanya.. Pengalaman Shiraishi bersinggungan dengan keluarga tempat dia menginap dan tinggal selama penelitiannya memperkuat argumen dia tentang bagaimana pengertian keluarga.
Sekarang ini di Jakarta, anggota “keluarga” tidaklah terbatas pada lingkaran orang-orang yang diikat oleh legitimasi seksual dan hubungan orang tua-anak saja. Masyarakat tidaklah terpisah, menjadi keluarga di rumah dan publik di luar, seperti masyaakat modern Barat. “Keluarga” memperluas dirinya sendiri melalui bermacam-macam relasi sosial, dan mempunyai caranya sendiri untuk membedakan diri dengan orang asing (hal 41)
Apa yang dinyatakan Shiraishi pada bagian di atas tidak secara eksplisit menyampaikan data pendukung sebagai landasan argumennya tentang bagaimana hubungan keluarga terbentuk.. Dia sampai pada argumen itu hanya dengan melihat peristiwa yang dia alami ketika terjadi kunjungan sebuah keluarga ke rumah neneknya di akhir minggu. Pada saat itu terdapat nenek, cucu, anak-menantu, pembantu dan dirinya. (hal 40). Saya melihat bahwa Shiraishi membuat suatu difinisi keluarga dengan batsan yang sangat luas dengan memasukkan hubungan majikan-pembantu, hubungan pertemanan dan relasi dengan orang-orang yang dikenal, dalam kategori hubungan keluarga.
Setelah masuk dengan pemahaman dan ekspresi-ekspresi tentang “keluarga (di) Indonesia” Shiraisi melangkah lebih lanjut dengan melihat bagaimana relasi yang terjadi dalam keluarga. Hubungan antara bapak-anak merupakan terminology yang menjadi perhatiannya. Hubungan herarkhi antara bapak dengan anak (buah) berimplikasi pada hubungan dua tingkat antara posisi bapak yang lebih tinggi dari pada anak. Hubungan yang bersifat paternalistik tidak memberikan ruang/kemungkinan bagi anak untuk menolak, membantah, atau menyangkal terhadap apa yang menjadi keinginan bapak karena hal itu merupakan perbuatan yang tidak terpuji dalam konteks hubungan keluarga. Namun pada bagian awal ini, Shiraishi tidak memberikan data empirik tentang bagaimana hubungan bapak-anak dalam konteks keluarga. Shiraishi melompat jauh dengan mendifinisikan hubungan tersebut dalam kontek peristiwa politik yang terjadi di Indonesia.
Dengan melihat dokumen-dokumen tentang peristiwa-peristiwa politik di Indonesia. Shiraishi mencoba membandingkan antara peristiwa yang terjadi pada revolusi kemerdekaan tahun 1945 dengan peristiwa Gerakan 30 September 65 sebagai bentuk revolusi yang sangat kental dengan nuansa hubungan bapak-anak.
“Inilah saat-saat puncak revolusi gaya Indoneisa. Menurut ketentuan anak buah adalah bawahan bapak dalam hierarki bapak-anak buah, …anak buah harus menerima apa pun yang ditawarkan bapak, sang pelindung yang menyayanginya. Kini anak buah MEMERINTAH bapak-nya untk melakukan “Revolusi” (hal 52)
Ibu sebagai elemen dalam keluarga juga turut berperan terutama dalam menentukan/mengambil keputusan untuk anaknya. Selain memberikan rasa kasih sayang, perlindungan, perhatian dan kehangatan kepada anak. Ibu memiliki dominasi yang kuat untuk menentukan seluruh pilihan anak. Dominasi ibu terhadap keinginan anak ini dapat diterima/dianggap wajar karena sebagai bentuk kewajiban moral anak dalam menghormati dan mensyukuri pemberian ibu. (hal 112-113)
Tulisan Shiraishi terus mengalir dengan mendiskripsikan bagaimana pengertian bapak, ibu dan anak menjadi penting dalam konteks politik di Indonesia dan dalam bahasa Indonesia. Untuk melihat bagaimana perilaku seorang bapak yang seharusnya dilakukan, Shiraishi memberikan diskripsi atas apa yang ditemuinya pada seorang yang bernama budi, laki-laki yang menjabat sebagai presiden direktur suatu perusahaan (Lihat diskripsinya di halaman 150). Data tekstual tentang sejarah menjadi pijakannya untuk melihat terminologi bapak, ibu, anak, dan keluarga menjadi kata yang sangat populer digunakan dalam berbagai wilayah baik dalam hubunagn sosial, pendidikan maupun dalam pemerintahan. Anak sebagai elemen keluarga Juga tidak luput dari perhatian Shiraishi. Dia mencoba melihat bagaimana posisi anak-anak yang ditempatkan dalam relasi hubungan bapak-ibu dalam keluarga. Sekolah mendai bagian penting bagi anak-anak dalam proses membentuk konsep keluarga. Dengan menginterpretasikan bahan bacaan yang digunakan murid-murid di kelas Shiraisi mengajukan argumen sebagai berikut
Pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dimulai dengan konstruksi dan rekonstruksi keluarga kemudian bangsa. Ruang kelas merupakan ruang yang terpisah dengan keluarga …Meski demikian dalam buku pelajaran bahasa Indonesia, justru keluarga yang dibentuk dan berperan penting. (Hal 208)
Catatan Akhir
Dengan penulisan yang mengalir Shiraishi membangun argumentasi untuk menunjukkan bagaimana alih ubah konsep dan pemahaman keluarga ke dalam system politik dan berbagai aspek kehidupan sehari-hari yang dilakukan orang Indonesia. Data yang banyak digunakan Shiraishi adalah data yang bersifat tekstual, yang bersumber dari naskah-naskah tertulis. Naskah tersebut berupa cerita pendek, novel dan beberapa tulisan tentang biografi tokoh-tokoh penting di Indonesia. Data lain yang digunakan adalah data wawancara serta pengamatan. Namun saya rasa porsinya sangat kecil, data wawancara yang dia sajikan hanya dalam bentuk tanggapan beberapa orang terhadap peristiwa yang dia ajukan, sedangkan data observasi yang cukup detil dia sajikan dibagian akhir untuk mendiskripsikan situasi sebuah ruang kelas. Perspekrif yang digunakan Shiraishi adalah reflektif interpretaif. Melaui data tektual Shiraishi mencoba menafsirkan dan merefleksikan dengan pengalamannya sehingga data tekstual yang berserakan seperti serpihan-serpihan yang tersebar lalu di rangkai dan disatukan sehingga tersusun sebuah ethnografi. Namun apa yang dilakukan Shiraishi bagaikan menari di atas data yang bersumber dari orang lain. Data yang digunakan untuk membangun argumen bukan berasal dari pengalaman langsung tetapi dari “pengalaman jauh”. Cerita/novel merupakan bentuk narasi tekstual pengalaman dan gagasan penulisnya. Sekalipun teks tersebut berupa biografi seseorang, tentunya apa yang tersaji dalam biografi tersebut adalah sebagian kecil peristiwa yang dilihat dari konteks waktu tempat dan cara pandang tertentu. Shiraishi menempatkan data tekstual layaknya seperti informan. Sebagai sebuah karya etnografi, pelaku/pemilik kebudayaan yang menjadi tokoh utama dalam dongeng etnografi hanya muncul samar-samar bahkan cenderung tenggelam di bawah jalinan interpretasi yang dibangun penulisnya. Pandangan ini merupakan pandangan saya yang mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari keluarga Indonesia. Saya merasa bagai orang yang tolol, ibarat pepatah semut diseberang lautan tampak sedangkan gajah di pelupuk mata tidak.

1 komentar:

  1. Yuk Coba Pengalaman Taruhan Live Casino Online Terbaik Dan Terlengkap !
    .
    • SBOBET CASINO
    • MAXBET CASINO
    • 368BET CASINO
    • GD88
    • CBO55
    • WM CASINO
    • SV388 Sexy Baccarat
    • venus Casino

    Bonus Rollingan Terbesar s/d IDR 500.000.000,- Bonus 10% New Member Hanya Di Bolavita.

    Bonus Casino Live Komisi Rollingan 0.5% + 0.7% Setiap Minggu Hingga Ratusan Juta.

    Bonus Ini Diberikan Pada Pemain Casino Baik Menang ataupun Kalah.

    Daftar Sekarang Juga Di Website www. bolavita. site

    Info Lengkap Hubungi Customer Service Kami ( 24 JAM ONLINE ) :

    BBM: BOLAVITA
    WeChat: BOLAVITA
    WA: +62812-2222-995
    Line : cs_bolavita

    BalasHapus