Pendahuluan
Saat ini memotret sangat mudah dilakukan. Kemudahan
ini terutama ditunjang oleh keberadaan teknologi kamera yang sangat portable dan mudah digunakan. Berbagai
pilihan kamera tersedia sesuai dengan yang kita inginkan, dari yang paling
sederhana, hingga yang canggih dan rumit. Kehadiran teknologi digital memang
telah memudahkan untuk memotret. Sekarang kita dapat memotret setiap waktu
karena kamera hampir selalu berada dalam genggaman tangan atau di balik saku
pakaian kita. Bagi yang suka narsis dan “aktivis”
jejaring sosial, memotret menjadi bagian dari keseharian. Bahkan kini segala
sesuatu yang ada akan berakhir dalam sebuah foto.
Dalam ilmu antropologi,
penggunaan fotografi sebagai bagian dari kerja etnografi sudah dilakukan sejak
lama. Dalam proses penelitian (khususnya Antropologi) pengumpulan data melalui
observasi merupakan bagian yang selalu dilakukan. Seorang peneliti akan
mengumpulkan data dengan melihat perilaku, interaksi, dan tentu saja artefak
masyarakat yang diteliti. Data dikumpulkan dengan mengandalkan kekuatan indera
pengelihatan (mata) yang dimiliki peneliti, namun pada prakteknya kemampuan
mata manusia terbatas. Apa yang kita lihat hanyalah yang ingin kita lihat dan
kita ingin menanggapinya (Collier, 1990). Sehingga seringkali kita memiliki
perbedaan terhadap apa yang dilihat oleh orang lain walaupun dalam posisi
geometris yang nyaris sama.
Kamera
dengan kemampuan optisnya menjadikannya sebagai alat yang dapat memperluas
jangkauan indera kita. Kamera sangat dipercaya untuk merekam suatu obyek bahkan
yang tidak mampu dilihat oleh mata manusia. Misalnya obyek yang sangat kecil,
sangat jauh, atau obyek yang bergerak sangat cepat. Seperti yang banyak dilakukan dalam disiplin
mikrobiologi dan astronomi. Sedangkan dalam ilmu sosial keberadaan kamera mampu
menghasilkan rekaman yang tidak terbantahkan. Melalui foto, seseorang dapat
melintasi batas ruang dan waktu,
menggugah perasaan sehingga mampu membawa suasana seolah-olah nyata
dalam sebuah citra visual. Keberhasilan Talbot menciptakan kamera yang mampu
merekam citra visual yang nyaris persis sama dengan apa yang direkam
memunculkan pandangan bahwa fotografi merupakan “The Pencil of Nature”. Rekaman
melalui kamera dianggap lebih alami, valid, dan objektif dibandingkan dengan
lukisan meskipun lukisan sangat mirip dengan kenyataan. Dengan melihat foto seolah-olah merasa berada
dan menyaksikan langsung peristiwa yang berlangsung. Kamera ditempatkan sebagai
alat yang mampu menghasilkan rekaman atas peristiwa yang benar-benar terjadi di
sana, pada saat itu. Namun, eksistensi foto menjadi ambigu. Meskipun diyakini
bahwa apa yang terekam dalam sebuah foto adalah peristiwa yang benar terjadi
pada ruang dan waktu tertentu, namun bagaimanapun juga foto itu bukanlah
peristiwanya, sehingga terjadi jarak
antara foto dengan peristiwanya.
Periode
awal penelitian antropologi yang menggunakan foto sebagai bagian/alat beretnografi
khususnya untuk mengumpulkan data telah dilakukan oleh Gregory Bateson dan Margaret Mead pada tahun
1940an. Mereka menggunakan foto untuk menunjukkan karakter orang Bali. Kemudian Richard Sorenson mengikuti jejak
Margaret Mead meneliti tentang perkembangan anak di New Guinea. Penggunaan data
visual dalam penelitian antropologi yang paling lazim adalah untuk ilustrasi
terhadap persoalan apa yang diteliti. Ilustrasi tersebut setidaknya untuk
meyakinkah bawa peneliti pernah hadir di sana (being there).